Menunggu - cerpen Sigit Rais a.k.a. Raisal Kahfi -
(Majalah Cerita Kita Vol 11 Tahun 2006)
Aku kembali terpaku pada panorama
yang tak asing lagi. Sebuah panorama yang selama ini begitu akrab dengan
kehidupanku di kampus hijau ini. Di depanku berdiri kokoh sebatang pohon palem
yang tegar dalam kesendirian. Pohon itu dikelilingi rumput basah yang bermandi matahari. Perlahan sisa tetesan
embun yang hinggap di atasnya sirna seiring dengan pagi yang semakin tua. Di
tempat yang penuh kenangan ini aku masih menunggunya dengan setia, bagiku setia
tidak pernah sia-sia.
Masih bisa kuhirup aroma pagi walau
matahari sudah agak meninggi. Pukul sepuluh, saat yang tepat untuk menunggunya
di sini, selasar sebuah mesjid yang selalu teduhkan jiwaku. Melapangkan
pikiranku dari jenuhnya suasana perkuliahan. Hal inilah yang menjadi salah satu
alasanku untuk segera kembali ke tempat ini begitu perkuliahan usai. Begitu
juga dengan teman-temanku yang saat ini, di belakangku, sedang asyik
membicarakan rencana perjalanan kami ke Jakarta
beberapa minggu lagi. Seusai kuliah tempat ini selalu jadi tujuan mereka. Dan
kini aku masih asyik sendiri, nikmati matahari dan berbagai aktivitas kehidupan
yang saat ini terpajang di depan mataku. Tanpa henti aku memohon pada Tuhan
agar pagi ini aku depertemukan dengannya, mahluk indah yang akhir-akhir ini telah
mendobrak semesta hatiku dan membuatku jatuh cinta.
Kutebar pandanganku. Di kananku
sebuah mesjid berdiri dengan megah walau tak semegah mesjid raya yang ada di
alun-alun kotaku. Mesjid itu bernama Al-Furqon. Tempat ini adalah salah
satu tempat yang paling sering kusinggahi. Di beranda mesjid kulihat beberapa
mahasiswa sedang membaca Al-Qur’an. Aku terenyuh melihatnya. Bagaimana tidak?
Akhir-akhir ini aku begitu jarang menyentuh kitab suci. Sungguh, aku
benar-benar merasa berdosa.
Tak jauh dari situ kulihat seorang
lelaki yang sedang duduk termenung menatap ke arah pohon palem, seperti aku.
Tetapi setelah kuamati, sesekali lelaki itu tersenyum kecil seakan sedang
bercakap-cakap dengan rumput. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Mungkinkah dia
sedang terperosok ke dasar lembah cinta sepertiku? Entahlah, yang jelas
wajahnya tampak tersenyum.
Di depanku, di seberang lapangan
rumput, seorang penjual kue donat sedang melayani pembelinya, dua perempuan
berjilbab dengan pakaian serba ketat. Dengan genitnya mereka memilih-milih
donat yang ada di dalam box, sepertinya si penjual donat cukup gerah
juga pada dua perempuan centil itu. Tetapi mereka membuatku teringat pada
seseorang yang saat ini masih kutunggu. Apa yang sedang dilakukannya di pagi
yang semakin tua ini? Kuharap dia tidak sedang menggoda lelaki lain seperti
yang dilakukan oleh dua perempuan itu. Bicara soal jilbab, memang akhir-akhir
ini banyak sekali muslimah yang berjilbab bukan karena panggilan hati,
melainkan karena panggilan mode. Hal inilah yang terkadang membuatku dan
beberapa temanku merasa prihatin. Ya, itu memang hak asasi mereka. Tetapi
sejujurnya aku lebih menghormati wanita baik-baik tanpa jilbab daripada wanita
berjilbab yang masih gemar mempertontonkan auratnya. Seperti bidadari yang saat
ini semakin membuat kesabaranku nyaris habis. Ia tidak berjilbab. Rambutnya
bergelombang bagai ombak di samudera. Hatinya begitu indah untuk dicinta. Dan
dari cahaya di matanya aku tahu bahwa dia adalah hawa yang tercipta dari
rusukku. Tetapi mengapa dia belum muncul juga?
* * *
Tanpa terasa matahari semakin
tinggi, hampir tepat di atas kepalaku. Langit yang menyajikan pemandangan biru
muda nyaris tak dihinggapi awan. Udara sudah mulai panas. Kulepaskan sweater
putih yang kupakai sejak pagi. Ternyata leherku basah karena keringat. Suasana
di sekelilingku semakin ramai saja. Berbondong-bondong para mahasiswa dari
berbagai arah menyerbu selasar mesjid yang sebelumnya tampak lengang.
Teman-temanku tak lagi membicarakan rencana perjalanan kami ke Jakarta. Beberapa di
antara mereka ada yang pulang ke kost-an dan baru akan kembali pukul satu nanti
karena masih ada mata kuliah Kajian Drama. Sedang yang lainnya terlihat sedang
tidur-tiduran, mengerjakan tugas, mengobrol, makan, dan bahkan dua orang
temanku yang kebetulan berpacaran sedang duduk berdua sekitar tujuh meter dari
samping kiriku. Huh, jujur saja aku sedikit iri pada mereka. Sepertinya mereka
sangat menikmati cinta. Tidak seperti aku yang terkadang begitu merana karena
cinta. Seperti saat ini, aku dibuat merana oleh sebuah penantian sambil
mendengarkan lagu-lagu Melly Goeslow yang
ada dalam album Ada
Apa dengan Cinta dengan menggunakan walkman milik temanku.
aku tak bisa jelaskan mengapa bisa begini. Aku s’lalu rindu pada
malamku bersamamu……
kuhanya ingin mencintai, aku hanya ingin dicintai. Walaupun banyak
yang menentangku, kuhanya ingin bahagia……
***
Siang semakin garang. Mengucurkan
keringat di sekujur tubuhku. Saat ini aku sudah bisa mencium aroma siang.
Kurasakan panas pada kulit tanganku yang terjemur langsung di bawah terik
matahari. Aku berpindah tempat duduk, mencari tempat yang lebih teduh. Kini aku
bersandar di sebuah lemari kayu yang biasa dijadikan tempat penitipan sepatu.
Orang-orang lalu lalang di depan wajahku.
Tiba-tiba seorang anak menghampiriku dengan membawa sebuah kecrek yang
terbuat dari kayu dan tutup botol soft drink yang dipipihkan. Kukecilkan
suara walkman untuk mendengarkan bocah yang seumuran dengan adik
bungsuku bernyanyi, “libuan kilo jalan yang kau tempuh, lewati lintangan demi
aku anakmu.”
Hatiku benar-benar tersentuh.
Bagaimana bisa seorang bocah yang belum bisa mengucapkan huruf “R” berada di
sini mencari makan? Bukankah seharusnya mereka berada di bangku sekolah? Inikah
tanda-tanda ketidakadilan dunia? Lalu bagaimana dengan masa depan mereka? Ah,
kurasa inilah salah satu penyebab keterbelakangan bangsa kita disbanding bangsa
lain. Tapi mau bagaimana lagi? Apa sih yang bisa dilakukan oleh seorang
mahasiswa miskin seperti aku selain berdo’a, berdo’a, dan berdo’a.
Mudah-mudahan kelak tak ada lagi anak yang kurang beruntung seperti dia.
Setelah kukeluarkan uang receh
secukupnya anak itu berlalu. Ia berkumpul dengan teman-temannya di dekat menara
putih yang menjulang tinggi di depan mesjid ini. Mereka terlihat begitu
menikmati penatnya siang. Seakan tanpa beban mereka berlarian di bawah jemuran
matahari. Sementara itu aku kembali menebar pendanganku. Masih dalam rangka
mencari sosoknya yang selama ini kurindukan.
Adzan Dzuhur berkumandang,
menyerukan panggilan untuk segera menghadap-Nya. Sebagian mahasiswa segera
mengambil air wudhu dan sebagian lagi terlihat masih duduk-duduk memenuhi
selasar mesjid untuk menunggui tas dan sepatu teman-teman mereka yang pergi
sholat terlebih dahulu. Di mesjid ini berkali-kali terjadi kasus kehilangan barang,
baik itu tas, sepatu, jaket, atau handphone. Oleh karena itulah sholat
bergantian dianggap sebagai solusi terbaik untuk menghindari kehilangan barang.
Begitu juga dengan aku, dua tahun yang lalu aku sempat menjadi korban
kehilangan tas di mesjid ini. Betapa kesalnya aku saat itu. Isi tas memang
tidak bernilai jual tinggi bagi orang lain, tetapi bagiku sangat berarti.
Isinya disket-disket tugas akhir semester yang belum sempat di-print,
dan foto-foto kenanganku bersama kekasihku yang pergi menghadap-Nya tiga tahun
yang lalu. Gambar-gambar wajah teduhnya seringkali membuatku merasa bahagia
karena pernah dicintai oleh mahluk seindah dirinya. Dan sejak aku bertemu
dengan seseorang yang saat ini sedang kutunggu, aku seakan dipertemukan kembali
dengan reinkarnasi dirinya. Sungguh, kedua gadis itu terkesan sama bagiku.
Tetapi mengapa dia belum datang juga?
Segera kumatikan walkman,
setelah menitipkan tas dan sepatu pada temanku yang kebetulan sedang “libur
sholat”, aku segera mengambil air wudhu dan sholat berjama’ah. Seusai sholat
aku berdo’a pada Tuhan agar aku bisa dipersatukan dengannya, aku ingin
menjadikannya sebagai matahari cintaku. Kemudian aku segera kembali ke selasar
mesjid. Aku masih berharap bisa bertemu dengannya siang ini, atau paling tidak aku
bisa melihatnya walaupun dari kejauhan. Yang jelas di dasar hati terdalamku aku
ingin menyatakan isi hatiku untuknya siang ini juga.
Pukul setengah satu, matahari
benar-benar tak selembut tadi pagi. Suasana di sekelilingku semakin ramai. Para penjual makanan mulai berdatangan untuk menyajikan
hidangan makan siang berupa batagor, siomay, cuanki, es cendol, cincau, dan
berbagai makanan lain dengan harga murah tentunya. Tetapi aku sedikitpun tidak
tergerak untuk makan. Entah kenapa.
Beberapa temanku mulai beranjak
meninggalkan selasar mesjid ini dan segera menuju ruang kuliah yang letaknya
cukup jauh dari sini. Untuk sampai di sana
kami harus melewati perpustakaan, Balai Bahasa, dan Fakultas Ilmu Pendidikan.
Apalagi di bawah terik yang menyengat ini. Mungkin beberapa teman perempuan
yang kolokan akan mengeluh sepanjang jalan. Takut kulitnya terbakar-lah, takut
hitam-lah. Menyebalkan.
Aku segera merapikan barang
bawaanku, lalu segera kupakai sepatuku. Tetapi aku tidak segera beranjak. Aku
masih begitu ingin bertemu dengannya. Sekali lagi kuamati sekelilingku. Masih
bisa kurasakan suasana ramai khas tempat ini yang terjadi setiap hari kecuali
hari Sabtu dan Minggu. Apalagi hari Senin seperti sekarang ini, biasanya
kampusku lebih ramai dibanding hari-hari lainnya.
Dan akhirnya penantianku tidak
sia-sia. Tepat di depanku, di dekat gerbang kampus aku melihatnya berjalan
menuju tempat parkir motor. Tetapi jantungku seakan berhenti berdegup. Dia
tidak sendiri. Seorang lelaki mendampingi langkahnya. Tak lama kemudian mereka
berlalu, melaju dengan sebuah sepeda motor. Dia mendekap erat lelakinya. Wajah
cantiknya melekat pada punggung lelaki itu. Menara putih dan pohon palem runtuh
dalam semesta lukaku. Rumput terbakar terik matahari seperti hatiku yang
terbakar api yang tak kumengerti. Kering dan layu. Dalam hitungan detik
segalanya berubah jadi debu. Tak ada lagi Mawar atau Kanigara. Yang ada
hanyalah bangkai berbau amis.
Aku berlalu meninggalkan selasar
mesjid yang masih dipenuhi manusia. Kutinggalkan sebuah pertanyaan, “mengapa
dia tak menjadikan aku sebagai mataharinya?” Pertanyaan itu terjawab setelah
aku tahu bahwa lelaki itulah matahari pilihannya. Dan aku, masih akan selalu
menunggu di selasar mesjid ini. Bukan lagi menunggu kedatangannya tetapi
menunggu kematian sebuah pijaran jiwa yang kini telah diliputi luka menganga.
Aku terluka.
***
Mayan nyesek juga
ReplyDeleteya begitulah
DeleteWatak tokoh nya apa sih bang??
ReplyDeletepenyabar
Delete😂😂
ReplyDeleteBangke bro
DeleteAku sedih ðŸ˜
ReplyDeleteAk jg syah
Delete