Sie Liebdt Dich - cerpen Sigit Rais -
(Majalah HAI, 23 Februari - 1 Maret 2009/ TH XXXIII No.8)
***
“Halah! Dasar kuya
batok! Masa sih tugas bikin puisi minta tolong sama gue? Please deh! Secara gitu loh!” ujarku
kesal.
“Ayo dong fren, please,
masa sih lo tega ngebiarin Bu Tuti nulisin angka jelek buat nilai Bahasa
Indonesia gue, ayo dong Ka,” bujuk Ikhsan sambil menarik-narik jaketku.
“Ga, ini bukan soal nilai, ini soal karya nih! Enggak
bisa sembarangan!”
“Sekali ini aja Ka, lagian cuman puisi doang kok!”
“Eh! Sembarangan! Cuma puisi doang kata lo? Waduh! Lo
mau ditabokin penyair se-Jawa Barat ya? Lo pikir puisi tuh kacang goreng yang
bisa diperlakukan seenaknya? Puisi tuh karya seni Man! Nggak cukup dikasih nilai 123 atau ABCD doang! Puisi tuh hasil
pemikiran, perasaan, dan….”
“Euleuh-euleh,
lagak lo, udah sok kayak sastrawan besar aja. Please dong Ka, kali ini aja, please,
please…” Ikhsan terus memohon-mohon. Akhirnya aku menyerah. Bukannya
apa-apa, konsentrasiku terus terganggu oleh rengekannya. Kalau begini terus,
kapan tugas makalah Sosiologi ini bisa kuselesaikan? Bisa-bisa besok aku kena
marah Bu Mince lagi.
“Ya udah, tapi inget, kali ini aja!”
Ikhsan mengangguk-angguk seperti anak kecil yang
dilarang jajan sembarangan oleh mamanya.
“Thanks bro!
Jasamu tak akan kulupakan, karena engkau adalah sahabat yang…..” ujar Ikhsan
sambil berlagak seperti seseorang yang sedang membaca puisi.
“Apaan sih? Udah deh sana pulang! Udah malem nih!
“Aduh, segitunya. Ngusir nih Mas?”
“Iya!”
“Ya udah, gue caw dulu ya! Good luck fren! Jangan lupa lusa harus udah dikumpulin, okey?”
“UH! Pake merintah lagi! Sialan!” ujarku sambil melempar
ballpoint ke arah Ikhsan.
“Eit, nggak kena! Inget Man, ikhlas! Dadah!”
“ARRRRGGHH!!”
***
Kantin Mang Rojak penuh
sesak. Anak-anak bejubel memadati kantin mungil yang ada di pojok sekolah. Ada yang memesan mie
ayam, kupat tahu, nasi kuning, bahkan ada beberapa anak yang memborong banyak
makanan untuk dimakan di dalam kelas. Di depanku, segelas susu soda dan dua
potong brownies kukus menemaniku
mendengarkan lagu-lagu The Beatles dalam MP4 playerku. Sejak tadi sudah tiga
lagu yang masuk ke dalam telingaku, I
Want To Hold Your Hand, Hey Jude, dan kali ini lagu berbahasa Jerman,
judulnya Sie Liebdt Dich. Tiba-tiba Ikhsan
datang merusak ketenanganku.
“DARR!” Ikhsan
menggetkan aku dari arah belakang.
“Buset! Dasar kuya batok! Kutukupret gonjring! Kalo
gue jantungan terus mati gimana?” ujarku kesal.
“Aduh sori Ka! Tapi
yah, kalo lo mati ya dikuburlah, paling gue berdoa supaya dosa lo diampuni,
hehehe!”
“Sialan!”
“Eh Ka, gue udah
dapet info nih tentang Atra, kecengan lo!”
Mendadak aku
bersemangat. Kulepas earphone agar
aku bisa mendengar ucapan Ikhsan lebih jelas.
“What? Terus, terus?” ujarku penuh
semangat.
Tapi Ikhsan malah
memalingkan wajahnya sambil bersiul.
“Terus Ga?”
tanyaku penasaran.
“Eh, ehem, tapi aku
haus nih Ka, gimana ya?” ujarnya sambil melirik gelas berisi susu sodaku. Aku
segera menyodorkan susu soda itu ke arahnya. Dengan sigap Ikhsan segera
menyeruput susu soda yang tadinya masih memenuhi volume gelas.
“AH! Segeerrrrr!” Ikhsan
berhenti sejenak. Ia melap mulutnya dengan tangan lalu melanjutkan
pembicaraannya, “ternyata si Atra belum punya cowok, Ka! Masih jomblo gitu deh!”
Mendadak muncul
euforia! Aku merasakan kebahagiaan. Hatiku berbunga-bunga. Dunia ini terasa
seperti gurun pasir yang baru disirami hujan deras.
“Beneran Ga?”
tanyaku menggebu-gebu.
Ikhsan mengangguk.
Tanpa banyak bicara lagi aku segera berlari menuju kelas. Aku harus segara
“berburu”.
“Reka! Mau ke mana?
Ini brownies sama susu sodanya
gimana?”
“Buat lo aja! Udah
gue bayar kok! Perjuangan harus dimulai nih!”
***
Dua hari kemudian
aku mulai dekat dengan Atra, walaupun saat ini statusku masih sebagai teman
biasa. Anehnya Atra langsung akrab denganku. Bahkan sepertinya Atra yang mau
mendekatiku.
“Wah, ternyata kamu
nyenengin juga ya Ka,” ujarnya sambil mengunyah permen karet. Pipi Atra yang
cukup chubby membuatku gemas,
ditambah lagi lesung pipit yang membuatnya terlihat semakin manis. Ingin sekali
rasanya kucubit pipi itu. Mungkin nanti setelah aku berhasil merebut cintanya.
“Ka, lo tuh kompak
banget ya sama si Ikhsan, mirip Desta sama Vincent Club Eighties gituh,”
ujarnya.
“Ah, masa sih?”
tanyaku sambil pura-pura heran.
“Beneran. Malah
kadang-kadang, kalian kayak anak kembar lho, abisnya, udah tingginya sama, bentuk
rambutnya sama, sering bareng pula.”
“Ah, itu mah dia aja yang ngikut-ngikut gaya gue. Tapi tetep gue kan yang paling keren,
hehehe…” Aku tersenyum lebar, mungkin selebar Joker si musuh Batman.
Tiba-tiba Atra
batuk. Ia tersedak dan permen karetnya tertelan.
“Ya ampun Mil!” Aku
segera memijat-mijat lehernya sampai akhirnya permen karet melompat dari
mulutnya. Tiba-tiba Atra tertawa geli. Aneh.
“Mil, kamu kenapa?”
“Engga, hihihi,
cuma geli aja, abisnya kamu narsis banget sih!”
Tiba-tiba mukaku memerah,
entah kenapa. Yang jelas kali ini aku benar-benar bahagia. Harapanku pada Atra
pun semakin besar. Aku yakin hati Atra bisa kudapatkan.
***
Jam dinding terus
mengeluarkan irama detiknya. Ia bersimfoni dengan suara jangkrik yang bernyanyi
di luar kamarku. Aku merasa bahagia. Puisiku terpilih sebagai puisi terbaik
oleh Bu Tuti dan dipajang di mading mulai tadi siang. Tapi sayang, puisi yang
terpilih adalah puisi yang dikumpulkan atas nama Ikhsan. Sedang puisi atas
namaku malah tidak masuk urutan lima
besar. Tapi biarlah, toh itu masih karyaku, lagipula mana mungkin aku
mengatakan hal yang sebenarnya pada Bu Tuti, bisa-bisa Ikhsan dihukum. Untunglah
Ikhsan teman yang baik, ia tidak banyak tingkah walaupun banyak anak yang
mengaguminya karena puisi itu. Aku mengerti posisinya, ia tidak mungkin jujur
pada semua orang bahwa itu karyaku, nilai Bahasa Indonesianya bisa terancam.
“Ga, gimana
ceritanya sampe kamu bisa bikin puisi sebagus puisi Dia Mencintaimu? Dapet dari mana inspirasinya?” tanya seorang wartawan
ekskul buletin tadi siang sepulang sekolah.
Ikhsan bingung
harus jawab apa. Kami hanya saling tatap. Beberapa kali Ikhsan memberikan
isyarat dan aku hanya bisa mengangkat bahuku. Mendadak Ikhsan berdiri, dia lalu
berlari ke arah toilet.
“Aduh, sori, si Ikhsan
kayaknya kebelet. Mau tahu sumber inspirasinya?
Gue tahu kok, soalnya kemaren dia cerita.”
“Oh ya? Gimana
katanya?
“Dia tuh suka sama
seorang cewek, nah, tapi sayang si cewek malah suka sama temennya. Nah, itu
puisi ditujuin buat temennya itu, gitu. Dia bilang sih itu puisi terinspirasi
sama salah satu judul lagunya The Beatles, Sie
Liebdt Dich, artinya dia mencintaimu,
gitu!”
“Oo…” ujar wartawan
cilik itu sambil manggut-manggut seperti wayang golek Si Cepot yang sering
muncul di salah satu televisi swasta lokal.
Begitulah, mendadak
Ikhsan jadi seseorang yang dicari-cari. Dia seperti selebritis yang dikejar
infotaintment karena melakukan sesuatu yang menghebohkan. Aku jadi kasihan
juga. Gara-gara itu, dia jadi tidak tenang, serba salah, dan dikejar-kejar rasa
takut.
Tiba-tiba Mama
memanggil-manggil namaku.
“Reka, ada telfon!
Katanya Atra!”
Aku segera berlari
ke luar kamar menuju meja telfon. Ternyata memang Atra.
“Mil, ada apa?”
“Sori ganggu, ada
yang mau gue omongin, besok bisa nggak pulang sekolah kita mampir dulu ke taman
Ganesha?”
“Oh, boleh aja.
Emang ada apa Mil?”
“Ya udah, besok aja
ya, oke, malem…”
“Yu….”
KLIK!
Kututup telfon
dengan kepala yang masih dipenuhi tanya. Entah apa yang akan terjadi besok.
Kuharap Atra memberikan lampu hijau padaku untuk mendapatkan cintanya. I hope, I wish, I pray.
***
Suara burung
melatari suasana siang menuju sore di taman ganesha. Matahari sedikit condong.
Mungkin sudah pukul tiga sore. Aku dan Atra duduk di sebuah bangku besi yang
dinaungi sebuah pohon besar. Beberapa ekor burung melintas di atas kepala kami.
Mereka lalu lalang di udara, entah sedang apa, mungkin sedang mencari makan
untuk anaknya.
“Ka, gue mau jujur
nih,” ujarnya sedikit tersipu. Mukanya memerah.
Dadaku mendadak
berdegup makin kencang. Aku merasa setelah ini aku akan berhasil mendapatkan
cintanya.
“Gue…”
“Kenapa Mil?”
“Gue…gue…gue…suka..”
“Kenapa? Suka apa?”
tanyaku sembari berharap Atra berkata ‘aku suka sama kamu’. Detik demi detik
rasanya berlalu dengan sangat lambat. Ini seperti adegan slow motion yang ada dalam sinetron saat akan usai dan menampilkan
tulisan ‘bersambung’ di bagian bawah layar tv.
“Gue suka sama Ikhsan,
Ka. Tapi gue nggak berani bilang ke dia.”
JELEGER! Halilintar
seakan menyambar jantungku. Perasaanku campur aduk. Ternyata Atra menyukai Ikhsan.
Aku kehabisan kata-kata. Aku kehilangan harapan.
“Sejujurnya, gue
deketin lo tuh biar gue tahu lebih banyak tentang Ikhsan Ka.”
JELEGER! Halilintar
kembali menyambar, kali ini menyambar ubun-ubunku. Aku mati kutu. Aku hanya
bisa mematung.
“Terus, kemaren pas
gue baca puisi dia yang nongol di mading, gue makin cinta sama dia Ka, gue nggak
sanggup nahan perasaan gue lagi. Gue takut kehilangan dia, apalagi setelah gue
denger kabar bahwa makin banyak cewek yang suka sama Ikhsan gara-gara puisi
itu.”
Aku terdiam. Entah
harus bicara apa.
“Ka, lo mau kan bantuin gue? Please, lo kan temen gue yang paling baik. Please comblangin gue sama Ikhsan. Lo
mau ya?”
Perlahan
kuanggukkan kepalaku. Hatiku benar-benar kosong. Aku bingung apa yang harus
kulakukan. Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa pada Ikhsan. Setelah ini
aku tidak tahu apakah aku bisa menerima kekalahan ini? Tapi kekalahan apa? Toh
aku dan Ikhsan tidak sedang bersaing. Jadi ini apa namanya? Ah, aku pusing.
Kacau!
Setelah supir Atra
datang menjemput, Atra pun segera pulang dengan menyimpan harapan besar di
pundakku, harapan untuk bisa memiliki Ikhsan. Harapan itu benar-benar
membebaniku. Aku benar-benar bingung. Kupasang saja earphone di telingaku. Kembali lagu-lagu The Beatles melatari
suasana hatiku di sore yang semakin jingga ini. Kutekan tombol play, dan…..
Sie liebdt dich, je je je
Sie liebdt dich je je je
Sie liebdt dich je je je je….
Comments
Post a Comment