Kabar untuk Ayah

Mana mungkin aku tega berkabar pada Ayah tentang dunia yang telah bertahun-tahun ditinggalkannya. Dunia yang katanya diciptakan oleh Tuhan untuk berbagi napas kehidupan. Dunia yang seharusnya membuat semua makhluk penghuninya merasa nyaman. Dunia yang telah mempertemukan dia dengan belahan jiwanya.
Apa yang harus kukatakan pada Ayah? 
Haruskah kukatakan, rasa cinta tak lagi pekat terasa. Orang-orang membawa benci di kepala mereka ke mana-mana. Mereka berjalan dengan jumawa, tapi penuh ketakutan. Mereka pongah, tapi berdiri di atas rasa putus asa. 
 
Haruskah kubilang, kini pemimpin hanya dijadikan tontonan. Siapa saja bisa cinta buta, bisa juga meghujat sekejam mereka suka. 
 Berkali-kali aku pusing membedakan fakta dan realita. Aku tak tahu mana yang sinema, mana yang nyata.
Tak hanya aku, rekah ceria remaja-remaja yang baru saja membuka mata, kini terasa jadi hantu. Sebab, melihat masa depan, aku selalu bergidik ngeri. Seperti tak ada warna-warni mimpi.
Lalu, bocah-bocah yang lucu itu mendadak jadi sekawanan vampir yang menyukai bau anyir. Rasanya tak ada luhur cita-cita seperti yang selama ini dipelihara. Tak ada lagi kebanggaan seperti saat Ayah menatap kibar bendera di gantar bambu, di halaman rumah kita. 

"Ayah, aku minta maaf. Kali ini ceritaku gelap semua. Sebetulnya tak pantas kukisahkan padamu yang telah lama tenang di sana."

Tak ada yang sanggup kukabarkan pada Ayah, selain senyum hangat Bunda yang sejak dulu selalu setia dan penuh cinta.

Comments

Popular Posts