"Maafkan Kami, Tuan Capung" - Majalah Bobo Nomor 16, Juli 2015
oleh
Ighiw
Setiap
musim kemarau, kebun di belakang sekolah dipenuhi oleh capung. Anak-anak di
Desa Sarijadi biasanya berkumpul di sore hari untuk berburu capung. Begitu juga
dengan Angga dan Erik. Mereka datang ke kebun belakang sekolah sambil membawa
sebuah kantong plastik. Kantong plastik itu akan digunakan sebagai wadah menyimpan
capung hasil tangkapan mereka.
Di
rumah, Angga bermain di teras dengan capung-capung hasil tangkapannya. Dia lalu
mengambil seekor capung yang paling besar. Kemudian, Angga mengikatkan sehelai
benang jahit di ekor capung tersebut. Setelah itu, Angga melepaskan capung itu
dan mempermainkannya seperti layang-layang.
“Ayo,
terbang, Tuan Capung, terbang yang tinggi...” ujar Angga sambil tertawa
gembira.
Dini,
adik perempuan Angga, kesal melihat perbuatan Angga. Dia tidak tega melihat
capung yang seharusnya terbang bebas malah dipermainkan seperti itu.
“Kak
Angga, kasihan capungnya. Ayo, bebaskan,” ujar Dini.
“Tenang,
nanti Kakak bebaskan. Tuan Capungnya masih ingin bermain,” jawab Angga sambil
terus mondar-mandir mengikuti pergerakan capung.
“Kak
Angga, capung itu sama seperti kita. Ingin bebas. Dia ingin terbang. Bukan
untuk dibuat mainan seperti itu,” ujar Dini ketus.
“Sudah,
Dini. Jangan ganggu Kakak. Sebentar lagi Kak Erik mau datang. Kami mau bermain
balap capung.”
Angga
terus mempermainkan capung itu. Sesekali dia melepas benang yang melilit di
ekornya. Kemudian, saat capung itu hinggap di dahan pohon jambu, benangnya dia
tarik kembali. Dini kesal. Dia masuk ke dalam rumah dengan wajah cemberut
karena gagal menghentikan Angga.
Tidak
lama kemudian, Erik datang. Di tangannya sudah tergenggam benang jahit yang
mengikat capung hasil tangkapannya.
“Angga,
ayo kita balapan!” seru Erik bersemangat.
“Ayo,
sini Rik. Tuan Capungku siap jadi pemenang!”
Angga
dan Erik begitu asyik menikmati permainan itu. Sementara, Dini yang berpipi
tembem mengintip mereka di balik jendela ruang tamu.
“Huh,
aku harus merencanakan sesuatu,” gumamnya.
Diam-diam,
Dini mengendap-endap menuju teras. Saat Angga dan Erik sedang lengah karena
asik bermain balap capung, Dini memungut kantong plastik berisi capung milik
Angga dan Erik. Kedua kantong plastik itu tergolek di lantai teras. Tak lupa,
Dini menukarnya dengan kantong plastik kosong yang dibiarkan terbuka.
“Hihi..
nanti tinggal bilang saja bahwa capung mereka terbang sendiri,” ucap Dini dalam
hati.
Kemudian,
di halaman belakang rumah, Dini melepaskan capung-capung tangkapan Angga dan
Erik.
“Selamat
jalan, para Tuan Capung. Semoga kalian bahagia ya...!” seru Dini melepas
kepergian capung-capung yang cantik itu.
Lalu,
Dini kembali ke teras depan rumah untuk melihat Angga dan Erik yang masih
bermain balap capung. Ternyata, Angga dan Erik sudah tidak ada di tempat itu.
“Ke
mana ya mereka?” tanya Dini dalam hati.
Sekarang,
Dini berpikir bagaimana caranya membebaskan capung yang sedang dimainkan oleh
Angga dan Erik. Dini pun duduk di lantai teras, tepat di atas kantong plastik yang
tadi ditukar olehnya.
Tidak
lama kemudian, Angga dan Erik datang. Dini merasa heran karena hanya Erik yang
membawa capung di tangannya.
“Kak
Angga dari mana?” tanya Dini.
“Kakak
baru dari kebun, mencari capung baru. Capung-capung Kakak di kantong plastik
kabur semua,” jawab Angga.
Tiba-tiba
Angga terkejut. Dia menyuruh Dini berdiri.
“Aduh,
Dini! Ayo berdiri!”
Dini
ikut terkejut dan langsung ikut berdiri.
“Ada
apa, Kak?”
Ternyata,
di dalam kantong plastik yang diduduki oleh Dini ada Tuan Capung! Tadi, Angga
menyimpan capungnya di kantong plastik itu sebelum dia pergi dengan Erik. Dan
Dini menduduki kantong plastik berisi Tuan Capung. Saat kantong plastik dibuka,
Tuan Capung sudah mati.
Dini
menangis karena tidak sengaja menduduki Tuan Capung. Sementara, Angga dan Erik
ikut bersedih dan merasa kasihan pada Tuan Capung. Sejak kejadian itu, Angga
dan Erik berjanji tidak akan mengangkap capung lagi, apalagi menjadikannya
mainan. Mereka sadar, capung juga adalah makhluk ciptaan Tuhan yang harus
diperlakukan dengan baik.
“Maafkan
kami, Tuan Capung.”
***
Comments
Post a Comment