Cerita Pendek "Partitur Audia"
Partitur
Audia
cerita pendek Ighiw
Sumber gambar: https://thumbs.dreamstime.com/z/partiture-book-02-168737.jpg |
“Pokoknya, kalau tim paduan suara
kalian tahun ini tidak juara, semua biaya pelatih dan seragam yang saya kasih
harus dikembalikan!” ujar Bu Broto dengan mata mendelik judes.
Jelas, ucapan Bu Broto itu jadi
tamparan buat Divan dan teman-temannya yang tergabung dalam paduan suara
Bianglala. Bukannya makin semangat, mereka malah merasa makin terbebani.
Masalahnya, tahun lalu paduan suara Bianglala mengalami penurunan prestasi.
Mereka yang semula mendapat juara 3 dalam lomba paduan suara antarmahasiswa
se-Indonesia, tiba-tiba tersungkur di posisi juara harapan I.
Walau awak paduan suara Bianglala
bukan orang-orang yang ambisius dalam berebut piala dan kebanggaan, mereka
selalu termotivasi untuk menjadi lebih baik dari tahun ke tahun. Semua mereka
lakukan karena rasa cinta mereka terhadap dunia tarik suara.
“Kalian sudah memberikan yang
terbaik, teman-teman, tahun depan pasti kalian bisa jauh lebih keren,” ujar
Paundra sang pelatih yang selama ini selalu bersemangat melatih Divan dan
teman-temannya.
Kalimat apresiasi seperti itulah
yang bisa membesarkan hati Divan dan teman-temannya. Bukan kalimat intimidasi
yang membuat mereka malah down dan
kehilangan rasa percaya diri seperti yang diujarkan oleh Bu Broto.
Tahun ini, tiba-tiba Bu Broto, dari
bagian kemahasiswaan, mengambil alih komando di tim paduan suara Bianglala.
Lantas, dirinya memproklamirkan diri sebagai manajer paduan suara. Semua
diambil alih olehnya, termasuk urusan seragam. Padahal, latihan sudah
berlangsung selama tuga bulan. Lagipula, tidak seorang pun pernah menugaskan Bu
Broto untuk melakukan semua itu.
Awalnya, Divan dan teman-temannya
merasa senang. Tahun lalu, segala sesuatunya mereka persiapkan sendiri.
Akibatnya, konsentrasi mereka dalam latihan vokal cukup terganggu, sehingga
pementasan tidak maksimal. Tadinya, Divan berpikir, jika dimanajeri oleh
seseorang, dia dan teman-temannya bisa maksimal memperbaiki kualitas vokal dan
harmoni. Audia, yang biasa diberi tugas oleh Paundra membuat partitur bisa
makin cepat menggarap partitur.
Tetapi, beberapa hari dimanajeri
oleh Bu Broto, seluruh anggota paduan suara Bianglala sudah mulai merasa gerah.
Selain galak dan senang melontarkan kritik pedas, Bu Broto sesuka hati melakukan
eksperimen dalam hal pemilihan kostum. Dia memilih kostum yang aneh dan kurang
sesuai dengan tema lagu pilihan Paundra. Selain itu, Bu Broto juga melontarkan
ancaman-ancaman yang menghilangkan kepercayaan diri tim kebanggaan kampus
Bianglala.
“Van, gue out aja ya. Serem ah sama Bu Broto,” ujar Fernando. Dia merasa tak
nyaman dengan berbagai aturan yang dibuat oleh Bu Broto.
“Nyantai aja, bro. Sabar. Ambil
baiknya aja,” jawab Divan.
“Tapi Bu Broto udah keterlaluan.
Masa Julia yang ngasih masukan tentang kostum anak-anak perempuan diancam bakal
dikeluarkan dari tim?” gerutu Sanjaya.
Itu baru sebagian kecil dari
keluh-kesah para anggota paduan suara Bianglala. Belum lagi beberapa anggota
yang baru saja bergabung dengan tim paduan suara seperti Rinova, Okitio, Dini,
Novia, dan Elia. Belum apa-apa, mental mereka sudah dibuat drop oleh
aturan-aturan Bu Broto.
Dan malam ini, setelah kenyang
dengan keluh-kesah teman-teman satu timnya, Divan mencoba memejamkan mata. Dia
berharap suasana hatinya besok pagi bisa kembali dipenuhi semangat dan harapan.
**
“Van! Divan!” seru Audia yang sejak
tadi menunggu kehadiran Divan di tempat parkir.
“Di, kenapa?” tanya Divan sambil
menaruh helm di atas motornya.
“Lagu kita, Van. Aku dapet whatsapp
dari Bu Broto, katanya dia lebih setuju kalau kita pakai lagu Manuk Dadali,
daripada lagu Gundul-Gundul Pacul,” papar Audia terengah-engah.
“Astaga. Tuh emak-emak rempong
banget ya. Alasannya apa?”
“Katanya, dia dapat bocoran kalau
kampus saingan bebuyutan kita mau membawakan lagu yang sama. Jadi dia pengen
bikin saingan gitu.”
“WHAT?!”
Divan jengkel bukan main mendengar
penjelasan Audia.
“Enggak penting banget kan? Partiturnya,
Van. Masa aku harus bikin awal. Lagian Paundra kan sudah bikin aransemen yang
matang. In mah yang ada, anak-anak makin pengen out dari tim kita, Van.”
“Yaudah Di, siang ini kita rapat
rahasia ya. Jangan sampai diketahui Bu Broto. Kamu tolong kontak anak-anak.
Jangan lewat grup whatsapp lho. Bu Broto kan ada di situ.”
“Oke Van. Atau aku bikin grup
whatsapp lain ya, yang isinya hanya kita dan teman-teman.”
Divan mengangguk setuju lalu
bergegas menuju ruangan kelas untuk mengikuti perkuliahan.
**
Di samping gedung auditorium,
Divan, Audia, dan beberapa teman mereka berkumpul. Bagaimanapun, kabar buruk
tentang perubahan lagi harus disampaikan kepada teman-teman tim yang lain.
“Keterlaluan deh Bu Broto,” ujar
Elia mendumel.
“Iya, ini kita sudah latihan oke.
Tinggal polas-poles, terus mikirin seragam, eh, malah mau diacak-acak.
Alasannya aneh banget lagi. Masa, cuma untuk dibandingkan dengan tim kampus
lain.” Fernando tak mau kalah.
Tiba-tiba, smartphone Divan berbunyi. Rupanya ada pesan dari Paundra.
Paundra:
Van,
gue lagi menghadap Bu Broto.
Doain
ya biar aransemen karya kita enggak perlu diubah lagi.
Divan berusaha menenangkan teman-teman
satu timnya. Divan yakin, Paundra bisa mengubah permintaan aneh Bu Broto.
Tetapi, sayang, Bu Broto tetap bersikukuh bahwa tahun ini tim paduan suara
Bianglala harus membawakan lagu pilihannya.
**
Beberapa hari setelah keputusan
sepihak dari Bu Broto mulai diberlakukan, tim paduan suara Bianglala sudah
kehilangan dua personelnya bersuara tenor. Mereka sudah tidak sanggup
menghadapi Bu Broto yang semena-mena.
“Duh, bahaya nih, suara tenor
berkurang,” Sanjaya kelabakan.
“Bener-bener ya. Tim kita sukses
dibuat berantakan. Mana partitur belum beres pula,” gerutu Dini jengkel.
“Sabar ya teman-teman, sekarang
Audia dan Paundra lagi kerja keras nih nyusun ulang partitur kita. Moga-moga
bisa kekejar, dan semuanya berjalan lancar,” ujar Divan berusaha menenangkan
teman-temanya.
Tiba-tiba, Paundra datang dengan
wajah yang kurang enak dilihat. Dia terlihat kucel, tak bersemangat, dan seakan
kehilangan motivasi.
“Mas Undra, kenapa? Kok tampak
lelah begitu?” tanya Dini.
“Iya, mas. Lalu, mana partitur baru
kita?” Elia menambahkan.
Paundra menggelengkan kepala.
“Audia baru aja masuk rumah sakit.
Dia kena vertigo, guys,” jawab
Paundra sedih.
Semua anggota tim paduan suara yang
hadir tercengang. Mereka kaget mendengar cerita dari Paundra. Pupus sudah
harapan mereka untuk bisa unjuk gigi dalam lomba paduan suara tahun ini.
**
Untuk sedikit melepas penat karena
huru-hara di tim paduan suaranya, Divan dan Sanjaya mampir ke kedai kopi Mr.
Green. Di sana, tanpa sepengetahuan mereka sudah ada Bu Broto dan seorang
temannya. Mereka juga sedang menikmati kopi di kedai itu. Kebetulan, posisi
duduk Divan tepat berada di belakang Bu Broto.
Divan terkejut mendengar percakapan
orang di belakangnya. Dia akhirnya sadar bahwa di belakangnya itu adalah Bu
Broto yang sedang membahas tim paduan suara Bianglala bersama temannya,
“Iya Jeng, akhirnya keinginan
terpendam saya kesampaian juga. Akan saya habisi dia dengan kemenangan paduan
suara Bianglala. Habis, gimana ya, kekesalan saya sama Bu Merlina, dosen seni
di kampus sebelah itu, masih terasa. Jadi, ya sudah saya manfaatkan saja
keberadaan paduan suara di kampus saya untuk balas dendam.”
Divan dan Sanjaya terhenyak
mendengar kata-kata Bu Broto. Ternyata, keterlibatan Bu Broto selama ini dalam
tim paduan suaranya hanya untuk memenuhi dendam masa lalunya.
“Iya, Jeng. Siapa sih yang tidak
kesal. Di hari-hari genting tim paduan suara saya dulu, tiba-tiba Bu Merlina
pergi ke luar negeri tanpa pamitan. Padahal saat itu dia dikasih tugas membuat
partitur.”
Divan kehabisan rasa sabar. Dia
berdiri, lalu menghampiri meja Bu Broto.
“Bu, mohon maaf jika saya lancang.
Tapi, saya akhirnya tahu semua encana Ibu, dan ini tidak bisa dilanjutkan!”
seru Divan.
“Kamu? Ngapain di sini?” tanya Bu
Broto yang kaget bukan kepalang.
“Bu, kami ini bernyanyi, bukan
semata-mata ingin memenangkan predikat juara. Lebih dari itu. Kami bernyanyi
sepenuh hati. Kami berusaha memberikan yang terbaik. Bukan hanya untuk juri,
tapi untuk penonton.”
Bu Broto terdiam. Matanya
berkaca-kaca karena malu.
“Kami tidak punya tanggung jawab
apa-apa atas dendam masa lalu ibu. Dan adal Ibu tahu, gara-gara dendam masa
lalu Ibu, Audia, penulis partitur kebanggaan kami, sekarang terbaring di rumah
sakit. Sekarang terserah Ibu, apakah Ibu akan melaporkan kami karena melawan,
atau apalah terserah...”
Bu Broto terkejut.
“Iya, Bu. Ibu perlu tahu, membuat
partitur itu tidak semudah menyalin isi buku ke papan tulis. Tidak semua orang
bisa melakukan itu. Lalu, dengan seenaknya Ibu meminta kami mengganti aransemen
secara instan... padahal...”
“Cukup, Nak. Cukup. Ibu minta maaf.
Ibu benar-benar minta maaf. Ayo, sekarang antar Ibu ke rumah sakit. Ibu ingin
bertemu dengan Audia.”
Divan dan Sanjaya berpandangan.
Lalu, ada senyum mereka di wajah mereka. Senyum yang juga mungkin akan merekah
di wajah seluruh anggota paduan suara Bianglala. Lagu “Dan Bernyanyilah” yang
dilantunkan oleh Musikimia pun melatari kebahagiaan mereka sore itu.***
Selesai
Blog walking
ReplyDeletehttp://dingkelik.blogspot.com
thanks :)
ReplyDelete