Fragmen Larut Malam

Sudah larut malam. Sangat larut. Sudah jauh aku melangkah meninggalkan pesan terakhir tentang keluh kesah yang kusampaikan padamu dalam rasa marah.

Tak usai kuberpikir tentang ratusan hari yang telah kulewati dengan tubuhmu yang cadas. Dengan beku gigil yang selalu kau sampaikan lewat dingin tatapan. Saat-saat seperti itulah aku merasa seperti diasingkan di kedua kutub bumi dalam waktu bersamaan.

Dan kemarin, candradimuka di dadaku meluap. Meletus serupa merapi. Dan di sana kau menjadi petugas penunggu seismograf yang memantau dan mencatat getaran gempa yang kusampaikan lewat kata-kata.

Mungkin bintang-bintang letih dengan kebekuan. Pula matahari yang tak sabar ingin membakar. Tak terima dengan kekata dingin yang kau lontarkan bertubi-tubi di setiap laju gelitik detik yang terus mengusik.

Setelah itu, kembali kau ciptakan misteri. Ada pendar aurora yang mengikis luka di wajah langitku. Ada pendar abstrak nyala cahaya yang diam-diam secara lamat kau sampaikan ke laju darahku.

Aku terdiam. Merenung. Mulai mencari-cari beda hitam putih, setan malaikat, dan kau selalu memilih untuk berada di wilayah abu-abu.

Kau di mana? Di ujung mimpikah?

Sekarang hanya ada penat di kepala yang terus diisi oleh kertas-kertas bergambar sketsa hujan.



Ini sudah larut malam,

dan aku tak ingin tertidur tanpa jawaban kepastian yang menegaskan arti keberadaan hitam di lanskap langit malam.

Comments

Post a Comment

Popular Posts