Gigil

Sudah dua hari kamu dijauhkan dari pendar matahari. Sejak itu, gigil jadi kancamu sehari-hari. Angin terasa menusuk benci. Pula udara lembap yang sisakan sesak pengap di hati. Tapi kamu lagi-lagi berakting jadi si tangguh bernyali. Rintik gerimis kamu terobosi. Ciprat kubangan di jalanan tak bertepi berkali-kali menampar pipi. Kamu tak peduli dan terus berlari.
Tempat berhias teduh pepayung jadi tujuanmu kali ini. Selalu. Di hari sakral ini, di mana kamu dengannya terbiasa berbagi janji, walau sesekali kalian saling meyembunyikan diri.
Selalu. Seperti hari-hari lainnya, kamu memesan minuman yang sama. Dan kali ini, pesananmu adalah penyelamat ngilu di sekujur gigil tubuhmu yang meringkih dalam senja.
Tetapi, kamu bingung sendiri. Untuk apa adamu di lanskap ini? Bukankah matahari telah mendeklarasikan kealpaannya dua hari ini? Takkah kamu bisa menangkap isyaratnya yang berpendar jelas menusuk mata? Matahari tak akan sekonyong-konyong tiba, jadi hangat bagi tubuh rapuhmu yang gigil. Kamu perlu menunggu sampai nanti tiba waktunya. Bisa besok, lusa, minggu depan, bulan atau tahun depan, tak terprediksi, karena sesaat lagi malam akan menelan sore tanpa iba.
Tunggulah, tapi jangan diam di tempat yang sama. Teruslah menarikan tarian pemanggil matahari. Cepat atau lambat, matahari yang kau damba akan kembali. Dan bisa jadi, saat dia kembali, tubuh gigilmu yang dipenuhi biru sudah pulih dan baik-baik saja.
Tunggulah, tapi jangan berduka. Jangan biarkan gigil bekukan nadi.
Tunggulah di depan perapian. Mungkin kelak kamu pun akan lupa bahwa kamu pernah menunggu. Ya, menunggu sesuatu yang jelas dan nyata tak akan kembali saat ini.

Sekarang. Habiskan minumanmu, lalu merapatlah ke hingar-bingar dunia yang kadang bisa pendarkan hangatnya sendiri, walau tanpa matahari.


Kantin
5 Juli 2013 
5.44 PM

Comments

Popular Posts