Mempertemukan

Pernah, aku mempertemukanmu dengannya. Agar hari-hari kita semakin penuh warna. Agar laju kaki kita semakin kaya rasa. Dan kita terhindar jauh dari lilitan bosan yang merengkuh.
Lantas, hari-hari berjalan dengan biasa. Sampai suatu ketika, aku berfirasat tanpa musabab, ada sesuatu yang mulai tak biasa.
Kucari-cari, kuteliti-teliti, kutelusuri setiap ujung dan pangkal. Rupanya ada suatu keinginan rahasia. Keinginan yang disimpannya jauh di lubuk waktu. Sejak lama dia menginginkanmu. Dan inginnya semakin menggebu ketika waktu mempertemukannya dengan kamu: di hadapanku.

Maka, hari itu dia merayakan euforia sebab bisa bersentuhan denganmu yang diincarnya sejak lama.

Pernah, aku marah.
Sebab kata hati tak bisa dibohongi. Dan aku memilihmu sebagai penghuni jagat hati. Aku ingin jadi satu-satunya yang kau tatap di langit malam. Aku ingin kau menginginkanku seperti inginku terhadapmu.

Tapi marahku tak berarti apa-apa. Sebab, aku bukan pengendali jatuh hati. Aku tidak bisa memilihkan untuk siapa seseorang bisa jatuh hati. Itu di luar kendali.

Maka, aku berhenti.
Aku undur diri sebagai pecinta sejati, yang selalu bersabar mencintaimu di seluruh musim yang tersisa. Aku hilang cara dan hilang daya.

Sementara, mungkin dia semakin berjaya. Tertawa di atas luka. Merasa diri sebagai pemenang, yang berhasil mencuri perhatianmu.
Dan kau...
entah... mungkinkah kau jatuh cinta juga padanya?
Aku tak tahu dan tak bisa mengendalikan semua itu. Maka, aku mendekap rasa kehilangan yang nyata. Aku kehilanganmu, dan seluruh kesempatan untuk bisa lebih lama di sebelahmu.

Lantas, aku sembunyi di bawah rindang bambu, sambil melontar doa agar kuat selalu ada.
Sebab, firasatku, kita akan berkawan selamanya.

Dia... biarkanlah dia mengeksplorasi petualangan cintanya, meski harus repot jadi pembohong atas keputusan hatinya sendiri, sejak waktu mempertemukan kalian di sebuah dinding api.

Comments

Popular Posts