Balada yang Tak Bernama



 Di bawah langit yang melupa nama-nama, aku bertemu dengannya

—angin membawa debu di matanya.

Ia datang seperti senja di atas genteng tua,
tak berseru, tak bertanya, tapi menetap dalam dada.

Kami berjalan dalam kota berkarat,
berbagi roti dan cerita tentang mimpi yang selalu terlambat.
Kadang kami bicara tentang ibu, atau burung yang tersesat,
kadang hanya diam—namun sunyi kami tak pernah sesat.

Ia sahabat yang tak pernah kutandai,
tak kupasangi pita, tak kuberi janji.
Namun hadirnya seperti gitar tua yang tahu kapan bergetar,
meski disimpan dalam lemari yang berdebu dan samar.

Suatu hari, angin memanggilnya pulang ke arah lain,
jalan yang tak kupahami, tak pula kupertanyakan.
Aku berdiri di ambang pintu, tak berkata,
hanya menatap bayangnya perlahan lepas dari cahaya.

Lalu langit jatuh, seperti lampu di kamar tua,
dan hari-hari berjalan tanpa warna.
Ia hilang, bukan mati, hanya tersembunyi
di balik jendela waktu yang tak terbuka lagi.

Pernah, satu kali, aku melihatnya dari kejauhan,
ia tertawa, dan langit seakan mengingatkan musim hujan.
Kami tak saling menyapa, tak menamai temu itu,
seperti mimpi yang tahu ia tak bisa jadi nyata.

Sejak itu, aku menyulam malam dengan benang takdir,
menulis namanya di punggung angin yang tak pernah singgah.
Dan bila kelak ia kembali sebagai puisi atau hujan,
aku akan menyambutnya—diam, tapi utuh seperti akar dalam hutan.

Comments

Popular Posts