Nada yang Hilang
Di jalan senyap, malam nyaris remuk,
ku berlari—tak tahu arah, tak tahu sebab.
Seorang perempuan ikut melaju,
tak bersuara, tapi langkahnya seirama kalbu.
Di sisi trotoar, di bawah lampu kuning temaram,
ada kotak telepon—usang dan diam.
Di sampingnya cermin, berbentuk buku tua,
seakan berkata: masuklah, dan baca dirimu yang lama.
Kutepis logika, kugenggam rasa,
kumasuki cermin—lalu semesta berubah warna.
Langit mencair jadi biru dan merah muda,
angin membawa bisik yang tak bisa dibaca.
Tahu-tahu aku di lorong sekolah tua,
bau cat dinding, suara sepatu, denting piano dari aula.
Ada kisah lama di udara yang bergema,
kisah seorang ibu, muda, tapi jiwanya tua.
Dulu dia punya anak, tapi takdir memisah,
sebuah perang, atau perpisahan yang tak dijelaskan sejarah.
Kini dia guru musik, dengan suara tenang,
mengajar murid tentang harmoni dan kehilangan.
Saat menyiapkan konser untuk malam pentas,
matanya tertuju pada bocah lelaki, senyumnya panas-dingin dan bebas.
Pandai main flute, juga cello dengan rasa,
namun tinggalnya di tangga darurat sekolah—sendiri, tanpa siapa-siapa.
Sang ibu merasakan sesuatu—tapi tak tahu apa.
Ada nyeri dalam dadanya tiap remaja itu bicara.
Anak muda itu diam-diam mencinta,
pada guru lain, yang matanya penuh luka.
Malam makin larut, dan cerita memuncak,
rahasia bocah itu akhirnya dibuka tak sengaja.
Dari selembar surat yang tak pernah sampai,
dan sebuah lagu yang hanya dua hati yang bisa mainkan serentak.
Ternyata bocah itu—dialah anaknya yang hilang.
Darah dan daging, yang dahulu hilang ditelan zaman.
Mereka tak peluk, tak tangis, tak gaduh,
hanya saling pandang dalam irama yang tak butuh kata luruh.
Kini mereka main musik bersama,
di panggung kecil dengan lampu seadanya.
Tak butuh pengakuan, tak perlu tepuk tangan,
karena cinta yang sejati tahu caranya pulang.
....
Ternyata bocah itu—dialah anaknya yang hilang.
Darah dan daging, yang dahulu hilang ditelan zaman.
Mereka tak peluk, tak tangis, tak gaduh,
hanya saling pandang dalam irama yang tak butuh kata luruh.
Tapi sebelum konser dimulai malam itu,
di ruang sunyi penuh partitur dan cahaya sendu,
sang ibu mendekat, suaranya nyaris gemetar,
seperti nada pertama yang belum berani dipetik di gitar.
“Jika setelah ini tes DNA membuktikan kamu adalah anakku,”
katanya perlahan, tak menatap langsung ke wajah itu,
“maukah kamu… memanggilku Mama?”
Sunyi. Hanya bunyi napas dan gesekan kain.
Anak itu menatapnya—mata yang sama, luka yang lain.
Dan tanpa perlu menunggu hasil uji atau tanda,
ia menjawab dengan pelukan yang jadi jawaban segalanya.
---
Dan malam itu, saat lampu panggung menyala,
dua jiwa yang pernah terputus kembali bersuara.
Sebuah lagu dimainkan di cello dan flute,
judulnya sederhana, tapi penuh sesuatu yang dulu redup:
“Nada yang Hilang.”
Karena yang hilang, bukan cuma anak, bukan cuma nama,
tapi juga lagu jiwa, yang hanya bisa lengkap jika ada Mama.
---
Comments
Post a Comment