Gertak Angin

Hei. Lagi-lagi angin menggertak leherku yang kelabakan mencari tempat sembunyi. 

Sementara, perutku sudah kembung dan nyaris meletus. Persendianku terasa ngilu, pula kepalaku terus dipalu.

Dari manakah datangnya angin? Dari langitkah? Dari hutan-hutan atau dari lautan? Tak kuundang tapi memaksa datang. Bertubi menampar tubuh di jagat yang hilang.

Angin tak mau mengerti bagaimana susah payahku untuk bisa sampai di titik ini. Menembus cuaca tak menentu, sesekali dibakar matahari, sesekali disengat rintik hujan yang gigil.
Kadang, aku menangis. Tak tahan dengan terpaan musim. Tapi aku belajar. Merayap merangkak aku diajarkan tegar. Meskipun angin pernah menggampar lunglai tubuh hingga jatuh, kepal tanganku masih utuh.
Dan kini, dengan nakal dan jumawa, angin menyapuku.
Membekukan peredaran darahku dengan cara-cara baru.
Aku bertanya, "kenapa?"
"Melatih kuatmu," ujarnya santai.

Aku sesenggukan dibuat kesal. Merasa usahaku tak ada harga. Semua sia-sia.
Angin kembali, terus menerpa dada. Sesak. Itu yang kurasa.
Perlahan, aku bangkit dari ringisan ringkih. Aku makin terbiasa. 

Aku hebat, aku kuat. Kubiarkan dia menguliti. Aku tak peduli, aku makin kebal, aku makin nyalang.

Angin bosan, lalu pergi. Aku bersiap diri, angin pasti kembali. Ada banyak hidangan untuk membuatku merasa tersakiti. Aku siap, rasa sakit bisa buatku selalu siap bangkit dan berdiri. 
Memang seharusnya seperti itu.

Rasuna Epicentrum
16 Juni 2013
7.09 PM

Comments

Popular Posts