Suatu Malam, Tubuh yang Berlumur Darah

Kota ini masih gempita. Masih setia dengan cahaya. Pula angin yang dibingkiskan oleh cuaca, makin meruah di celah rimbun pepohon yang tidur. 

Tadi, seorang bapak tergolek bersimbah darah. Tepat di tengah jalan, bersama sebuah motor tua yang mungkin telah cukup setia mendampinginya. 
Ngeri. Darah bercucuran dari banyak lubang di kepalanya. Pula dari matanya yang larut terpejam. 
Seketika, orang-orang mengerumuni. Laju mesin-mesin distop sementara waktu. Sebagian mengerti, sisanya ngomel-ngomel karena tertunda sudah hasrat tiba di rumah. 
Maka, terdengarlah orkestra klakson pekak yang membuatku ingin lempar granat ke arah mereka.

Tapi, itu tak lama. Sang bapak bermandi darah segera diangkat hati-hati ke trotoar. Tak lupa, sepeda motor hitamnya didorong seorang satpam ke tepian.
Di samping sebuah mobil, seorang wanita ketakutan. Mungkin melihat tumpahnya darah. Pula aku. Pusing rasanya melihat darah mengalir tak henti.

Aku menepi. Berusaha mencerna tiap gelagat yang masih jadi teka-teki. 

Belum sempat kuhampiri, sang bapak sudah dibawa pergi. Bibirku komat-kamit sendiri. Ada harap sederhana, semua baik-baik saja. 

Di belakangku, sebuah Xenia merasa terhalangi. Pekak lagi kupingku dibuat oleh klakson berisik itu. Segera kumelaju, tinggalkan riuh yang masih belum utuh kucerna.

Kota ini akan selalu gempita. Berbagai cerita akan ada di setiap genit detik yang kadang ternoda.
Dan aku masih akan bermain-main dengan angin.

Semanggi menuju Blora
24 Juni 2013
12.03 AM

Comments

Popular Posts