Ranah Transisi



Di sepanjang garis kedap-kedip sungai kota, dia merasa tak ada. Sunyi menyergap. Gigil merembes ke pori-porinya yang rindu.
Kedinginan dipertegas hujan, pula pelembap udara kendaraan yang mengurung tubuhnya dalam pejal. Dia bertahan, dia ingin pulang ke dalam matamu yang mendadak dicuri kabut.

Dia tengah hidup di ranah transisi. Ada yang menghilang dan kini dia bermandi cemplang.

Orang-orang berteriak. Tapi, dia pekak. Dia hanya terbiasa mendengar suaramu yang berserak di istana ingatan.
Dia terjebak. Dalam ketaksederhanaan merindu, dalam ketakmudahan mengatakan kisah turbulensi kata hati.

Mungkin selamanya dia akan mampir di situ. Tetapi, ada gemercik air yang harus diburu. Bisa jadi, dia akan segera pergi, lalu berlayar mencari hakikatmu.

Kini, tinggal sejengkal jarak dia dan dinding rumah. Ditatapnya langit pascahujan yang masih pekat. Dia bertanya dan meminta, tentang kamu.

Ke kamar, dia melangkah, lalu rebah sambil menata kenangan sebagai deretan kisah kamu dan dia.

Perlahan matanya tepejam. Dia berdoa, bukan untuk kembalimu, tapi untuk kuat sakral hati yang begitu kuat ingin melepaskanmu.

Sungai lampu kota masih bersisa suara ricuh. Tak masalah, karena kamu dan dia akan selalu terkoneksi tanpa pengakuan atau kesadaran. Hanya terkoneksi sehingga sungai lamunanmu dengannya bisa saling bertemu, walau tak saling berkenalan.

Lampu dipadamkan. Sambil menunggu fajar, kupingnya dijejali lagu-lagu yang diam-diam kau dengarkan juga.

#ditulis sambil merem melek nyaris ketiduran plus nguping lagu-lagu Sondre Lerche dan sesekali nyruput teh madu.
— at Markas Jompers.

Comments

Popular Posts