Sang Pelindung
Sejak awal, aku
memang telah ditakdirkan untuk melindungimu,
tetapi bukan untuk melindungi
hatimu.
Ada
euforia saat kali pertama aku bertemu dengan kamu. Orang lain juga pernah
merasakannya. Di situlah rasa bahagia, haru, dan rasa lain yang identik dengan
keindahan bermuara. Karena rasa itu, aku merasa terlahir kembali.
Semua
rasa itu semakin melangit saat kembara matamu berakhir padaku. Lalu, langit pun
terasa semakin kromatis saat pilihan kamu jatuhkan kepadaku. Kurasakan euforia
yang tak berkesudahan.
Sejak
hari itu, aku jadi satu-satunya hal yang paling dekat denganmu. Duniamu
mendadak dibagi denganku. Isi kepala kita berfusi. Sejak hari itu, apa yang
kamu lihat bisa kulihat juga.
Aku
menjadi satu-satunya pelindung yang bisa kau andalkan. Kadang, di tengah
perjalanan melintasi bising kota, kamu selalu bercerita tentang apa saja.
Kadang tentang masa lalumu, tentang bagaimana kamu jatuh hati pada sepeda motor
yang setiap hari kita kendarai bersama, bahkan tentang gelisahmu saat ikan-ikan
di akuariummu mati.
Tetapi,
dari semua cerita yang mengalir lirih dari mulutmu dalam setiap perjalanan
kita, yang paling membuatku tersentuh adalah kisah tentang cintamu pada
seseorang. Seseorang yang kamu cintai sedalam-dalamnya, sepenuh-penuhnya,
sehebat-hebatnya, tetapi kamu tidak pernah bisa mengungkapkannya.
Jujur,
aku cemburu pada orang yang kamu maksud itu. Kamu sangat mencintainya, walaupun
kamu bergeming dalam kepura-puraan. Kadang, aku ingin egois. Aku pelindungmu
yang selalu menyayangi kamu, maka akulah yang seharusnya kamu cintai. Tetapi,
tak ada yang bisa memaksakan kehendak hati orang lain. Aku sama sekali tak
punya energi untuk menyulap hatimu agar berbalik mencintaiku.
Sampailah
kebersamaanku denganmu di kilometer ke 2211. Di siang yang garang, pedih cinta
datang menyerang, dan hatimu meradang. Orang yang selama ini kamu cintai
habis-habisan masuk rumah sakit dalam keadaan koma. Malam sebelumnya, kamu
memaki-makinya karena pekerjaannya beberapa minggu belakangan ini tidak tuntas.
Sebagai supervisor, kamu pandai menyembunyikan rasa cinta mendalammu untuknya.
Maka, dengan pikiran profesional, kamu memang sudah sewajarnya melakukan itu.
Sayangnya,
dia tak setangguh kamu menghadapi badai rasa hati. Apalagi saat orang yang
dicintainya membantai hatinya dengan caci-maki karena alasan pekerjaan. Dia
limbung, sampai-sampai lengah saat menyeberang jalan. Sebuah bus yang
ugal-ugalan tanpa belas kasihan menabraknya hingga tersungkur berdarah-darah di
tengah jalan. Beruntung umurnya bisa diperpanjang, walau kini dia tak sadar
sedang berada di pembaringan.
Aku
tahu, kamu menyesal. Apalagi setelah dari buku hariannya kamu tahu bahwa
akhir-akhir ini pikirannya sedang gusar karena dia mencintaimu. Sama dahsyatnya
dengan rasa cintamu padanya. Huh, kamu dan dia membuatku bingung. Saling
mencintai, tetapi tidak pernah ada titik temu.
Kamu
menangis sepanjang jalan. Motor yang kita kendarai melaju tak tentu arah.
Setiap orang yang sedang menyeberang, selalu kamu visualisasikan sebagai pujaan
hatimu. Hatimu hancur, berdarah-darah, dan aku tak sanggup melindunginya. Ya,
seharusnya aku bisa melindungi hatimu seperti aku melindungi kepalamu siang
itu.
Di
kilometer 2211 pada speedometer
motormu, kamu menghindari seseorang yang sedang menyeberang. Karena itu, motor
kita menabrak separator busway. Kamu
dan aku terpental beberapa meter. Kamu beruntung, ada aku yang melindungi
kepalamu, walaupun kini ragaku nyaris terbelah dua.
Dalam
hitungan hari, kamu pulih, tetapi hatimu tidak. Orang yang kamu cintai telah
pergi untuk selamanya. Hatimu berlubang. Aku berhasil melindungi kepalamu,
tetapi tidak bisa melindungi rapuh hatimu.
Tapi,
tenang saja. Time will heal. Kini,
kepalamu dilindungi oleh helm lain penggantiku. Kupikir, kamu akan membuangku.
Ternyata tidak. Di sebuah meja di kamarmu, aku kamu simpan baik-baik setelah
dibersihkan.
Baiklah,
ini kuanggap bentuk pengungkapan bahwa kamu juga mencintaiku, sang pelindungmu.
Jakarta,
15 Juni 2013
Comments
Post a Comment