Mulut yang Tertutup
Tak ada yang pernah tahu, atau mungkin sekadar ingin tahu. Bahwa sering kali aku berdiri sepi di tengah riuh yang menghakimi. Ada sunyi yang diam-diam menggerogoti, walau kadang sangat kunikmati. Dan satu hal yang pasti, ada rindu yang sesekali terasa begitu menyakiti.
Mereka memandangku sebegitu cerlangnya. Selalu bahagia, membawa berita gembira, bahkan seperti badut yang bisa mengundang tawa. Sementara, ada energi yang dikuras habis-habisan, ada kesendirian yang merasa harus diselamatkan.
Aku begitu sering mendengar. Selalu berusaha jadi pendengar, walau sering tak didengar. Rasanya seperti tak punya mulut untuk bercerita tentang perasaan yang bingar. Seperti tak punya jatah hak untuk benar-benar berbagi kabar. Sebab aku tak selalu baik-baik saja. Sebab ucapan alhamdulillah adalah upaya terbaikku, atas suatu penerimaan, yang kujalani dengan penuh sabar.
"Kamu ini ekstrovert," kata mereka sambil bersenda gurau dengan teman-teman di hadapan sebuah meja. Sementara mereka tak pernah mau sekali saja menemaniku, berbicara saling bertatap mata, menggali lebih dalam siapa aku. Mereka tak pernah bersedia menemaniku, kecuali ada hal yang menarik yang akan mereka dapatkan -dan tentunya bukan aku.
Aku dikira selalu baik-baik saja. Tak pernah merasa sedih, tak pernah merasa berduka. Bahkan tak boleh berduka dan merasa sakit.
"Aku sakit," ucapku.
"Ah, lagi banyak yang sakit. Aku juga kemarin begitu," kata mereka.
"Aku sedih," ucapku.
"Ah, itu namanya tidak bersyukur. Dekatkan dirimu pada Tuhan. Cukup."
AKU TERDIAM, MENUTUP MULUT, sedang kepalaku menjelma pasar yang diisi jagal.
Comments
Post a Comment