Kamu Terlalu Bahagia di Solo?

 Pernahkah kamu merasa sepertiku? Menyukai suatu kota, berserta segala isi dan dinamikanya, namun rasa yang kamu miliki ini berbeda dengan teman-teman, yang pernah tinggal sama-sama denganmu di kota itu.

Ya, secara historis, aku memang tidak memiliki keterkaitan dengan kota ini. Leluhurku bukan orang sini, sanak saudara pun setahuku tidak ada yang tinggal di kota ini. Satu-satunya ikatan Surakarta denganku hanyalah: aku pernah berkuliah di UNS, di kota ini selama kurang lebih tiga tahun.  

Sejak lulus, di 2019, aku berkali-kali kembali ke kota ini. Kadang bertemu teman lama di sini, kadang ya sendiri saja, tanpa tujuan untuk ditemui. Aku senang sekali berada di Solo. Entah kenapa. Ya mungkin secara ringkas jika ada orang bertanya, kenapa aku senang ke Solo, kubilang saja, rindu pada kulinernya. Padahal sesungguhya lebih dari itu. Ada jejak hati yang mungkin masih tertinggal. Ada kenangan, yang tak selalu terekam bahagia, bersemayam di udaranya. Dan aku candu untuk meraba kembali kenangan-kenangan itu.

"kamu terlalu bahagia di Solo, jadi susah lupa," kata mereka.

Bahagia iya. Tapi, bukankah ada kisah luka? Luka dalam yang dulu terasa bertubi-tubi mendera karena satu hal: aku mencintai orang yang salah. Tapi juga, hal itu tidak cukup kuat untuk membuatku memalingkan wajah dari kenangan tentang Solo atau sekadar berusaha melupakannya. Malah, cerita mendayu-dayu itu kadang kukenang sambil tersenyum, sambil membatin dan menertawai diri sendiri, karena bisa jatuh cinta semerdeka, sebrutal, se-effort, dan sekeras itu, walah ternyata rasa itu sama sekali tidak pernah berbalas, bahkan terasa dilecehkan dan disiakan. 

Itulah ajaibnya. Aku selalu kembali dan kembali ke tempat ini, kota Solo. Di mana sewindu lalu, aku merasakan jatuh cinta pada orang baru. 

Aku masih ingat, bagaimana rasanya aku yang kuat berusaha mengungkapkan rasa pada seseorang melalui berbagai cara. Memberi perhatian, meluangkan waktu bersama dia, menunjukkan keinginan bahwa aku ingin selalu bersama dia. Walau setelahnya, ada kelumit kecewa karena merasa diabaikan, ada air mata karena pernah merasa kehadiranku tak diinginkan, dan pernah merasa lara sebab merasa ditiadakan, ditinggalkan, atau mungkin diduakan?

Pernah juga siangnya bergembira bermain air di umbul, malamnya menangis di kereta karena kesalahpahaman yang sulit diterjemahkan. Huuft.

Bukankah itu seharusnya cukup untuk membuatku berhenti mencintai Solo, dan melupakan kenangan buruk di kota itu? Tetapi kenapa hati selalu tergiring untuk kembali? Padahal di kota itu tak ada orang yang khusus dan spesial menanti. Kenapa? 

Adakah yang pernah merasakan hal sepertiku?


Comments

Popular Posts