Kenapa Teh Jahe?

Beberapa teman sempat bertanya, kenapa saya begitu sering mengonsumsi teh jahe? Biasanya, saya hanya menjawab: suka. That's all. Padahal, sebenarnya saya hanya malas menjelaskan alasan-alasan yang bersifat medis. Halah.
Ya, jujur. Kadang saya ingin kembali ke masa beberapa tahun lalu, di mana saya bisa dengan bebas nyruput secangkir kopi sambil ngobrol haha-hihi dengan teman-teman. Saya akui, kopi juga sempat jadi sahabat terbaik yang menemani saya begadang menggarap skripsi atau menuntaskan berbagai pekerjaan menulis yang dikejar-kejar deadline.
Saya suka rasanya. Apalagi jika segelas kopi tersebut berada pada titik panas yang pas. Mulut akan menagih, lagi dan lagi. Walaupun saya tidak begitu yakin kalau kopi dapat mengusir ngantuk (sering ketiduran juga pascangopi), tapi kopi memang selalu jadi sobat kental saat saya harus melek sampai pagi.
Tapi, itu dulu.
Sekarang, saya hanya bisa mencium aromanya atau melihat asyiknya seorang teman yang nyruput es kopi moka setiap hari di kantin kantor. Bahkan, teman saya itu pernah mengonsumsi es kopi empat kali dalam sehari. Lumayan iri sih. Tapi, syukurlah saya sudah menemukan penggantinya: teh jahe. Itupun jika di tempat ngopi yang saya sambangi ada menu teh jahe a.k.a ginger tea.

Ini semua karena peristiwa sekitar setahun yang lalu. Waktu itu, nafsu makan saya yang buruk sedang kumat.  Biasanya, saat seperti itu, membayangkan sepiring nasi dan lauk pauk pun rasanya mual. Jika sedang berada pada titik itu, otak saya sepertinya sudah tersistem untuk menolak kehadiran makanan-makanan seperti itu. Anehnya, jika disodori makanan cepat saji seperti burger, kebab, dan lain-lain, barulah saya mau makan. Haha. Aneh dan tampak kolokan memang. Tapi itulah adanya.
Nah, hari itu, di kantin kantor, saya hanya tertarik mengonsumsi mangga dan segelas kopi susu panas. Sambil mengisap rokok, saya lahap makanan itu. Lalu, seharian saya memang tidak makan berat ala orang Indonesia lainnya. Saya hanya ngemil keripik, kacang-kacangan, dan berbagai cemilan khas yang jadi oleh-oleh teman-teman saya sepulangnya mereka dari tugas di luar Jakarta.
Malamnya, waw, maag saya kambuh sejadi-jadinya. Rasanya lebih dahsyat dari biasanya. Yang paling membuat saya terkejut, saat buang air, ada darah mengalir.
"Halah, lu ambeyen tuh," kata seorang teman.
Sambil menahan sakit, saya coba cari informasi tentang wasir di mbah google. Ternyata, gejala yang saya rasakan berbeda dengan yang tersaji di banyak literasi. Kali ini tak ada rasa sakit sama sekali di area (maaf) anus, dan tak saya rasakan adanya peradangan atau pembengkakan di area itu.
Karena mulai lelah jadi orang sok tahu yang sok jadi dokter bagi diri sendiri, saya bergegas menuju dokter yang buka sejak sore hingga malam di sekitar tempat saya tinggal.
Ternyata ada pendarahan lambung, dan pemicunya adalah perpaduan buah mangga dan kopi yang menyerbu lambung saya, yang sebelumnya memang bermasalah parah tetapi sudah sekitar 3 tahun aman-aman saja.

"Bleeding maag", kata bu dokter.
Beliau pun meminta saya untuk stop mengonsumsi kopi (kok mangga-nya nggak ya?). Katanya boleh lah ngopi, sebulan sekali, dua minggu sekali. Ebuseeet. Tapi, baiklah, demi kesehatan, saya ikuti saran Bu Dokter demi masa depan yang lebih cerah. Apa coba?
Waduh. Mengerikan ternyata. Beruntung segera tertangani.

Nah, sejak itulah saya berenti minum kopi. Ya, paling sesekali, itu pun jarang saya habiskan satu gelas. Atau, kadang saya nebeng nyruput di gelas kopi punya teman.

Sebagai gantinya, saya minum TEH JAHE. Sama mantapnya kok. Bahkan, menurut saya sih lebih sehat, terutama bagi saya yang punya masalah seputar lambung.
Aroma khas dari teh jahe bisa membuat saya nyaman dan rileks. Dari beberapa literasi yang saya baca, selain meredakan stres, teh jahe juga bisa mengatasi masalah pernapasan, memperlancar sirkulasi darah, mencegah gangguan kardiovaskular, meningkatkan kekebalan tubuh, dan mengatasi masalah-masalah pencernaan.
Ya, apapun keistimewaannya secara medis, teh jahe memang salah satu minuman utama yang saya cari. Saya suka. Kadang muncul rasa tenang dan gembira saat saya menghirup aromanya, apalagi jika di-mix dengan cinnamon.
Beruntung, 2 tempat ngopi 'bermerek' terkenal favorit saya, menyajikan juga menu ginger tea. Selain itu, kedai-kedai bubur kacang ijo di pinggir jalan dan warung makan angkringan juga menyediakan menu teh jahe. Jadi, saya sama sekali tidak pernah kesulitan untuk mendapatkan minuman ini. Kadang, saat saya pulang ke Bandung, Mama saya juga sering membuatkan teh jahe.
Beruntung, di salah satu kios di kantin kantor, ada teh jahe yang setiap hari selalu bisa saya reguk. Bahkan, saya pernah mengonsumsinya 4 gelas dalam sehari.
Jadi, saat teman saya ngopi, ya masih bisa saya temani dengan segelas teh jahe dan sebungkus rokok.

Memang sih, awalnya, saya sebal dan iri pada teman saya karena saya tidak boleh mengonsumsi kopi sesuka hati. Tapi, saya pikir teh jahe itu terasa lebih chromatic dari kopi. Bisa diminum kapan saja. Bisa buat sohib baca buku di sore hari sambil ngemil biskuit, pelengkap sarapan pagi, bahkan bisa juga jadi minuman segar di siang bolong dengan menambahkan es batu.

Yang jelas, saat mereguk teh jahe terasa ada rengkuhan jagat raya yang bermuara di mulut saya.

Itulah, kenapa selalu teh jahe yang saya cari. Yuks, coba.

2 Maret 2013

Comments

Popular Posts