Bermuara pada Suatu Senja

Setiap pagi, langit selalu menyuguhkan hangat matahari. Kadang redup, kadang menyengat, kadang terasa sangar, kadang lembut, kadang hangat, dan kadang terasa tiada walau sebenarnya ada di balik dinding awan sana.
Sejak fajar, hadirnya selalu jadi pertanda di mula hari. Kadang ada firasat, kadang ada impian dan harapan yang tersampaikan melalui berbagai cara manusia menyemai doa.
Lalu, diukirlah sejarah oleh manusia-manusia yang tak lelah bertengadah. Terkadang, ada pongah yang jadi tingkah polah. Kadang ada api yang membuat gerah. Ada juga tangisan yang jadi pintu keluar dari himpit gelisah.
Itulah hari.
Kadang, hari terasa begitu berat dan tak sanggup dipikul. Terasa panjang.
Tetapi, terkadang hari terasa begitu manis dan penuh warna. Menjadi deret kisah yang tak ingin dilupa.

Lalu, tibalah kita pada suatu senja.
Di situlah semua bermuara. Rasa lelah, semangat yang memudar, atau kejutan-kejutan yang tergenapi, semua bermuara.
Beberapa orang merangkumnya dalam doa.

Ini senja.
Kadang jingga, kadang bersemburat ungu, kadang mendung hadirkan kelabu, kadang begitu benderang menyilaukan mata, kadang berhias pelangi seusai hujan reda.

Ini kelucak rasa yang begitu kaya warna.
Bercampur dan bermuara pada suatu senja.

Aku berharap di setiap kisah tentang senja, ada seseorang yang tanamkan hangat matahari jingga,
sehingga tak ada lagi pekat gelap malam yang mengasingkanku pada sudut rasa takut.
Seperti saat ini.

Ini senja yang mungkin biasa saja.
Tapi kali ini keberadaannya membuatku bisa merasakan bahagia, walau sekadar bahagia yang sederhana.

Senja menghilang perlahan di ujung sudut mata.
Besok, lusa, atau kapan-kapan dia akan kembali, lalu menjadi tempat bermuara seperti seharusnya.

di meja kerja
5 April 2013 ~18.00

Comments

Popular Posts