Sahabatmu Bukan Piala Persahabatan untuk Dimenangkan

"Sahabatmu bukan piala persahabatan untuk dimenangkan"

Kalimat yang sederhana, tetapi malam itu terasa begitu menohok jantung saya. Bagaimana tidak? Akhirnya saya sampai di suatu titik sadar. Saya merasa seperti baru ditampar.
Selama ini, saya merasa sudah jadi sahabat yang baik bagi orang-orang yang saya anggap sebagai sahabat. Sisi jahanam saya membuat saya merasa sangat sempurna sebagai sahabat, sebagai teman dekat. Saya merasa diri saya adalah orang yang paling tulus memberi pada sahabat tanpa keinginan kuat untuk menerima.

Suatu masa, saya merasa mulai bersahabat dengan seseorang. Nyaman, dekat, saling percaya. Saya juga tanpa sungkan berbagi cerita tentang apa saja. Bahkan, tentang hal-hal rahasia yang seharusnya tidak diceritakan kepada siapapun. Saya mempercayai dia sepenuhnya.

Tapi, ternyata saya lupa satu hal: mendengarkan kehendak terdalam sahabat saya itu. Ya, saya merasa jadi penceloteh yang baik, tetapi buruk dalam hal mendengarkan. Boleh dibilang, saya seperti orang yang selfish. Hanya berorientasi kepada ke-aku-an, dan mengabaikan konsep 'kita' dalam sebuah pertemanan.

Lalu, saya merasa orang-orang di sekelilingnya seperti berambisi untuk bisa mendekati. Semua orang yang ada di sekitarnya terasa begitu bersemangat untuk berteman dengannya. Bahkan, teman lamanya terlihat begitu 'protektif'.
Sejak itu, bersahabat dengannya seakan menjadi prestasi. Kebersamaann dengannya seakan jadi anugerah yang tidak dimiliki orang lain. Bisa menjadi teman dekatnya seperti menjadi juara yang mendapat hadiah berupa piala.

Sampai saya melakukan hal bodoh yang bisa jadi telah merusak jalin kepercayaan yang seharusnya dimiliki oleh sebuah kisah persahabatan. Lalu, dia terasa lepas dari genggaman dengan begitu mudah. Tak sesulit saat saya mulai membangun persahabatan itu. Saya seperti telah jauh-jauh berjalan dari gunung ke pantai, sekadar mengambil segenggam pasir, lalu pasir itu lepas dari genggaman saya dan terbang bersama angin.

Di suatu titik saya sadar. Saya terlalu banyak bicara, tapi jarang mendengar. Saya merasa dia sahabat saya, tetapi dia tidak. Saya merasa nyaman bercerita, dia mungkin lelah terus mendengar dan sesekali ingin juga didengar.

Saya mengabaikan isi hatinya. Saya tak sadar kalau selama ini dia merasa seperti sebuah piala yang diperebutkan orang-orang.
Saya lupa, dia juga manusia, yang punya kehendak, yang punya keinginan sendiri.
Ya, dia itu bukan buku diary, dia juga bisa jadi pasien yang membutuhkan kita jadi dokternya. Sewaktu-waktu, dia butuh ada kita, dan dia akan mencari kita, tetapi di waktu lain, dia sangat ingin sendiri dan menjaga privasi.

Ya, dia bukan piala untuk dimenangkan. Dia adalah segumpal hati yang seharusnya dijaga dan disayangi.

Sahabat, maafkan saya.

*Kantin Kantor, 19 Agustus 2014 17:26


Comments

Popular Posts