Fragmen I

Fragmen Mula
Ini semacam fragmen. Bisa jadi ini adalah keping puzzle yang tercerai-berai karena turbulensi di dalam kepalaku. Sesekali, aku adalah orang tangguh yang mampu memikul batu seberat apapun. Tetapi, ada kalanya juga aku hanya sehelai daun saga yang mengering di luas gurun, lalu terinjak dengan suara kersak.
Kau tahu? Jatuh cinta di kepalaku buka sekadar kisah berembel-embel monyet yang penuh dengan rayu kemayu atau sanjungan menjijikan. Itu hanya bulu-bulu halus yang membuat perutku kegelian.
Aku heran, terkadang manusia berkoar-koar bicara cinta, tapi mind set mereka terpagari dogma dan pengultusan tentang cinta itu sendiri. Ya, cinta yang sebatas hubungan dekat antara sepasang manusia yang kebetulan dinamai lelaki dan perempuan.
Padahal, cinta bukan hanya itu. Tak sadarkah mereka pada setiap tarikan nafas? Di situ ada cinta. Pada setiap tetes hujan yang jatuh membasahi bumi, pada cahaya mata bunda yang baru saja melahirkan seorang bayi, pada setiap tetes darah pejuang kemerdekaan yang membanjiri bumi, bahkan pada jentik nyamuk yang menanti waktu untuk tumbuh menjadi serangga.
Pikiran-pikiran sempit tentang cinta hanya membuat cinta menjadi sosok yang menggelikan. Tak ubahnya seperti badut panda berwarna pink yang berkeliaran setiap tanggal 14 Februari.

Tetapi, mungkin isi kepalaku itu terlalu berantakan. Tidak tertata sama sekali seperti lembar-lembar kertas dalam file map kabinet di kantor-kantor. Bisa jadi, lebih parah dari daratan Aceh pascaTsunami. Porak-poranda. Luluh lantak. Amburadul. Pabalatak. Sial, bantar gebang!
Mungkin ini juga yang membuatku kehabisan vocabullary untuk mendefinisikan setiap jengkal gelisah, gemas, gereget yang mulai bergentayangan sejak wajahmu mulai jadi objek terdahsyat di depan lensa mataku.



Fragmen Cermin

Kau datang mengejutkan diriku
Menikam hatiku...
Detak jantungku
Sesungguhnya ku tak inginkan dirimu di saat ini... di tempat ini...
(Padi)


Dia tertunduk di puncak bukit. Diamatinya lanskap kota yang dibatasi garis horison bersemburat jingga. Perlahan, cahaya langit mulai surup. Dan aku ada di situ untuknya.

Angin mendekap tubuhku yang melunglai. Berabad rasanya aku menungguinya dalam sunyi. Siapa aku hari ini? Mungkin berbeda dengan aku yang kemarin datang membawakan flower bucket untuk kekasihku. Atau, jangan-jangan ini adalah aku yang sempat meluapkan rasa marah pada setangkai bunga lily di taman sunyi. Entah. Akukah aku?

Angin pun mengoyak jingga di wajah matahari senja.

Kini di hadapanku ada sebuah cermin besar. Jernih dan nyata. Dari situ tampak refleksi dunia yang mencengkeramku. Lamat-lamat, cermin itu berbisik. Tapi tak kudengar. Kini dia bosan. Dia marah. Lalu, cermin itu berteriak lantang ke arah kupingku. Cermin itu berkata: Dia adalah aku.
Aku marah. Bagiku, aku adalah aku. Bukan dia, bukan pula sesiapa yang menguasai keantah-berantahan dunia. Kulempar cermin itu dengan sebelah sepatuku. Pecahlah dia. Ternyata, di balik cermin ada tubuh lain. Ya, lelaki yang sejak tadi tertunduk di atas bukit dan mengamati lanskap kota. Dia menoleh ke arahku, lalu melompat ke arah yang entah bersama angin.



Fragmen Kemurungan
Serupa perawan di pematang senja, matahari mulai kehilangan daya. Perlahan, malam mencengkeramnya dalam sunyi. Mengurungnya dalam kemurungan purba. Ya, kemurungan yang berabad menghantui.

Comments

Popular Posts