Block - Unblock | Fiend - Unfriend

Tahu fitur block atau unblock di social media atau chat media? Fitur yang sebetulnya enggak terlalu sering diperhatikan orang-orang ini, sebetulnya diciptakan dengan fungsi humanis tertentu. Jadi, enggak mungkin kan suatu fitur digital dibuat tanpa alasan? Begitu juga dengan kegiatan block yang dilakukan dengan alasan tertentu.

Saya termasuk orang yang pernah di-block dan mem-block.  Thanks God ada fitur yang sangat berguna ini. Paling tidak, fitur ini bisa 'melindungi' diri kita dari hal-hal yang tidak ingin kita baca atau kita lihat, juga melindungi privacy kita dari orang-orang yang tidak kita inginkan untuk melihat area kita. Yang jelas, semua itu dilakukan tentu karena alasan tertentu. Haha, kita bukan bayi atau bocah yang melakukan sesuatu tanpa alasan. Right?

Hal itu berlaku juga bagi fitur friend dan unfriend.

Dulu, sekitar tahun 2009, seorang teman saya, tetiba melakukan unfriend terhadap akun facebook saya. Awalnya, saya bertanya-tanya, what's wrong? Apa yang bersangkutan enggak mau lagi berteman dengan saya? Tapi, toh di dunia nyata, kami masih berteman seperti biasa. Enggak ada yang berubah. Saya tidak lantas menganggap dia JAHAT karena meng-unfriend facebook saya. Saya selalu yakin, setiap orang melakukan sesuatu pasti ada alasannya. Finally, setelah berbulan-bulan, saya mendapatkan moment yang pas untuk bertanya pada teman saya. Ternyata, dia memang ingin 'membersihkan' social medianya dari teman-teman kantor, dan dia cukup terganggu karena saya terlalu sering men-tag dia untuk promosi buku. Itu saja. 
Bagi saya, itu hak dia. Dan di luar dunia maya, saya dan dia masih bersahabat seperti biasa. Jadi, itu enggak masalah buat kami.

Lalu, pada 2010, seorang sahabat saya, yang baru saja ditinggal pergi selama-lamanya oleh seseorang yang sangat istimewa baginya, tiba-tiba mem-block akun facebook saya dan mem-block jalur sms saya. Ternyata dia marah karena ada omongan-omongan saya yang tidak berkenan dan membuatnya tersinggung. 
Jadi, setelah di-block, saya tidak sekonyong-konyong menganggap dia JAHAT dan koar-koar sana-sini bahwa saya SAKIT HATI. Karena apa? Karena saya sadar, saya yang salah. Sahabat saya itu punya hak kan untuk marah. Dia juga punya hak untuk melampiaskan kekesalannya dengan cara apapun. Toh setelah kemarahannya terkikis waktu, saya dan sahabat saya itu kembali seperti dulu dan kami kembali terkoneksi di social media seperti dulu.
Enggak cuma itu, pada 2013, saya pernah melakukan kesalahan, yaitu iseng menyembunyikan handphone teman saya. Setelah itu dia marah semarah-marahnya. Lalu, dia me-remove BBM saya, mem-block nomor handphone saya, dan mem-block whatsapp saya. Apa lantas saya bilang dia JAHAT? Tentu tidak. Saya yang memicu api, kenapa saya harus menyalahkan orang lain atas perbuatannya yang dipicu oleh kesalahan saya? 
Setelah itu, awalnya kami canggung bertegur-sapa selama beberapa hari. Lalu, saya mencoba meminta maaf, tapi dia masih tidak terima dengan perbuatan saya. Selain itu, saat saya meminta dia untuk meng-unblock chat media saya, dia tidak mau. Ya sudah, saya tidak lantas marah dan misuh-misuh sana sini. Saya kembali ke diri saya, ya memang saya yang salah. Syukurlah, walau petemanan kami agak merenggang, ya kami masih berteman. Ke sana - ke sini bareng, ketawa-ketiwi bareng. Hanya saja, bedanya, kali ini saya tidak terkoneksi lagi di dunia maya dengan dia.
Saya sangat menghormati pilihan teman saya itu. Saya sama sekali tidak akan memaksa dia untuk kembali mengoneksikan dunia maya kami, apalagi sampai menyalahkan dia dan mencap dia sebagai ORANG JAHAT yang membuat SAKIT HATI. Sampai sekarang, pertemanan kami masih mengalir seperti sungai jernih.

Nah, lalu, saya pun ikut merasakan keterpaksaan saat harus memencet tombol block dan unfriend
Suatu ketika, sekitar akhir tahun 2012, saya sedang mendapat tekanan kejiwaan (halah) yang enggan saya ceritakan pada siapa-siapa. Intinya, saya patah hati. Saat itu, saya ingin menyendiri tanpa di ganggu siapapun. Lalu, saya keliling-keliling Jakarta, makan banyak, menghabiskan berbungkus-bungkus rokok, dan menyantap es krim sepuas hati. 
Tiba-tiba, di tengah kekalutan saya, ada seorang teman, yang mungkin maksudnya menghibur, justru malah mempersuram isi kapala dan hati saya lewat pesan-pesan BBM. Dengan semena-mena dia meledek saya yang sedang berantakan, dengan ledekan yang mungkin di mata dia itu adalah candaan yang lucu, tapi saat itu menjadi hinaan resek yang memuakkan bagi saya. Lalu, untuk menghindar dari situasi yang lebih parah, saya me-remove BBM dia. Tujuannya simple. Saat itu saya tidak ingin diganggu, dan kalau saya marah-marah ke dia saat itu, saya khawatir efeknya akan lebih menyakitkan. Lalu, ternyata respon dia di luar dugaan. Melalui jejaring sosial, seperti facebook dan twitter, dia memaki-maki saya. Dengan sindiran khas perempuan galau, dia mencap saya seagai ORANG JAHAT. Untuk menghindari perang status di socmed, saya unfriend facebook-nya dan saya unfollow twitter-nya. Lalu, melalui SMS, saya sampaikan bahwa saya hanya sementara me-remove semua koneksi socmed dengan dia.
Sesuai janji, beberapa minggu kemudian, saya kembali meng-add semua socmednya. Lalu, pertemanan kami sama seperti biasa. Tapi, parahnya di balik semua itu, ternyata dia masih memendam dendam karena socmed-nya pernah saya remove. Saya heran. Bisa-bisanya dia menghakimi saya sebagai ORANG JAHAT yang me-remove socmed-nya, padahal seharusnya dia sadar bahwa saya melakukan semua itu ya karena kelakuan dia juga. Saya melakukan itu bukan secara ujug-ujug sekadar iseng. Ya, sama seperti yang dilakukan oleh teman saya saat mereka mem-block saya. Anehnya, saya bisa berpikiran jernih dan melakukan introspeksi, tetapi teman saya yang saya block ini justru makin sengit mematok bahwa saya yang JAHAT dan terus menyalahkan saya.
Lalu, di awal 2014, kejadian itu terpaksa saya ulangi. 

Suatu ketika, setelah dia pindah domisili ke kota lain, dia kembali menyerang saya melalui whatsapp dengan tuduhan-tuduhan yang aneh bagi saya. Bahkan, sebuah kado yang tulus saya buat dan saya berikan untuk dia, tidak dihiasi ucapan terima kasih, tetapi dikotori oleh tuduhan-tuduhan yang tidak semestinya. Awalnya, saya berusaha bersabar. Beberapa teman, mengingatkan untuk terus berusaha menahan diri dan mengabaikan dia. Tetapi, tuduhan-tuduhan dan rentetan kebencian yang entah munculnya dari mana, terus dia alirkan pada saya melalui whatsapp, bahkan beberapa social media. Dengan dalih telah melihat fitur status last seen dan online di whatsapp, dia melemparkan tuduhan yang tidak saya lakukan.
Akhirnya, saya putuskan untuk me-remove whatsapp-nya dan mem-block semua jalur SMS saya. Lalu, apa yang dia lakukan? Dia memproklamirkan diri sebagai orang yang SAKIT HATI dan menobatkan saya sebagai ORANG JAHAT. Parahnya, semua itu dipampang di social medianya dan disampaikan kepada beberapa sahabat saya. Hmm.. beda ya dengan saya? Bukannya merunut akar masalahnya apa, malah langsung menunjuk saya sebagai ORANG JAHAT.
Lalu, sejak itu dia mulai postang-posting ini itu yang membuat saya dan beberapa teman geram, apalagi setelah mereka tahu permasalahan sebenarnya. Hujan sindiran dan umpatan saya tuai hampir setiap hari. Padahal, saya DIAM. Benar-benar DIAM tanpa respon apapun. Itu juga yang disarankan oleh teman-teman saya yang lain. 

"Ntar juga lama-lama dia biasa lagi," ujar salah satu teman saya yang kebetulan dekat dengan dia.

Tapi, ternyata dia makin menjadi. Pikirannya entah apa isinya. Bukannya membaik, dia makin parah dan komat-kamit di sana-sini. Padahal, di sini saya hanya DIAM. Diam yang sediam-diamnya. 
Parahnya, setiap posting foto bersama teman-teman yang memang rutin saya lakukan sejak mengenal socmed, kembali dituduh sebagai upaya untuk menunjukkan bahwa saya bahagia tanpa keberadaannya. PRET. Apa lagi? Apa lagi?

Hingga sampailah saya di puncak bebal. Setelah saya pikir dia sudah insyaf dan tenang, dia malah menyerang saya melalui massage facebook dan kembali melontarkan tuduhan-tuduhan yang tidak saya lakukan. Bahkan, dia menantang saya untuk meng-unfriend semua jejaring sosial kami yang terkoneksi satu sama lain. Saat itu juga, detik itu juga, setelah saya baca pesan facebook yang ternyata dikirim beberapa hari sebelumnya dan baru sempat saya baca, langsung saya BLOCK semua social media yang terkoneksi dengannya.

Dan, seperti biasa, bukannya menyadari apa penyebabnya, dia kembali memprokamirkan diri sebagai orang yang SAKIT HATI karena saya block, dan mencap kata JAHAT bagi saya karena mem-block semua social medianya.

Nah, beda kan? Saya yang legowo tanpa tendensi lain, dibanding dia yang begitu gemar menyalahkan orang lain. 

Ya, intinya, thanks God, ada fitur block dan unfriend. Selain itu, saya bersyukur juga, karena diberi kelapangan hati saat orang lain mem-block saya dari socmed-nya disertai dengan kesadaran akan hukum sebab-akibat yang bertumpu pada kesadaran akan kesalahan diri, bukan menyalahkan orang lain dan menyembunyikan kesalahan sendiri di balik keegoisan dan rasa gengsi.

Lalu, apa lagi? 


^^

Comments

Popular Posts