Ratusan Hari -untukmu-

Pagi ini, tetiba aku ingin bertemu kamu. Ingin memelukmu erat. Tak akan kukendorkan sama sekali. Ingin kuusap kepalamu dan kubenamkan dalam hangat pelukan itu.

Aku ingin mengatakan terima kasih. Atas ratusan hari yang penuh warna denganmu.  Ratusan hari yang mungkin dulu jadi salah satu keinginan dalam doa-doaku. Ratusan hari yang dihadiahkan oleh Tuhan sebagai penebus sunyi dan kecewa yang sebelumnya pernah kurasakan.
Ya, kehadiranmu anugerah dari Tuhan. Salah satu hal terbaik yang pernah kucecapi dalam hidup yang terkadang menyebalkan ini.



Terima kasih.
Kamu selalu jadi tempat untukku berbagi segala hal. Bukan hanya bahagia, pula luka, kesedihan, dan berbagai warna hidup yang penuh kejutan.
Kamu sepaket lengkap. Tak sekadar kekasih dan sahabat, kamu belahan jiwa yang membuat ku merasa utuh. Lalu, kamu jadi saudara, jadi adik, kakak, ibu, ayah, semua. Lengkap ada padamu.

Terima kasih atas kesabaranmu. Kesabaran tak berbatas yang selalu berusaha memahami polahku. Kesabaran yang selalu jadi pemenang melawan emosi dan keegoisanku. Kesabaran yang selalu meredam gelombang api yang kadang tak kupahami dari mana datangnya.

Terima kasih, telah menemaniku. Dalam pagi, siang, senja, malam. Semua terasa begitu kromatis penuh warna. Terasa penuh bahagia. Sehingga, jiwaku yang telah banyak ditinggalkan orang-orang tak pernah merasa sendirian. Tak pernah merasakan kehampaan. Karenamu. Karena teduhmu.

Terima kasih, atas semua kebahagiaan yang membuatku ingin ada selamanya. Terima kasih atas semua air mata yang membuatku semakin dewasa. Terima kasih atas kesabaranmu yang menggiringku untuk menjadi bijaksana.

Maafkan aku.
Maafkan atas semua ketakdewasaanku. Atas lemahku dalam mengendalikan marah dan cemburu. Atas semua kekuranganku dalam menjamumu di hidup yang begitu singkat ini.
Atas semua hal, baik dan buruk, yang pernah kulakukan padamu, aku hanya ingin menyimpulkan satu hal, bahwa aku menyayangimu. Selalu menyayangimu.

Hari terus berlari.
Mungkin, di depan sana akan ada ratusan hari lain yang harus kita tempuh sendiri-sendiri.
Tetapi, selagi kita bersama, untuk apa kita berduka?
Bukankah hari-hari yang tersisa harus kita nikmati? Sebelum kita menempuh jalan berbeda arah. Sebelum kita menemukan jalan lain untuk berbahagia.

Apapun yang terjadi, kita tidak boleh lupa bahagia, dan membagikan kebahagiaan itu dengan orang-orang yang kita sayangi.

Berlarilah. Masa depan menanti.
Kini, mungkin kita akan menikmati gerbong terakhir dari serangkaian ratusan hari yang pernah kita lewati.Tapi itu bukan berarti kita harus bersedih. Akan ada begitu banyak kado kebahagiaan di depan sana. Di hadapan jalan-jalan yang ditakdirkan oleh Tuhan, jalan yang tentu saja
kita pilih sendiri.

Aku percaya, semua akan baik-baik saja, dan selamanya kita akan saling menguatkan. Saling memberikan dukungan. Saling menanamkan keyakinan, bahwa semua yang pernah terjadi, memang sudah seharusnya terjadi.

Jadi, selama kita masih bersama, untuk apa bersedih? Karena sejak awal, kita tahu bahwa perjalanan kita akan dipertemukan dengan akhir. Akhir yang bahagia, tentu saja, walau kita berjalan masing-masing.

Tersenyumlah, selalu, seperti itu.

*26 Oktober 2013 till now

Sumber gambar:
http://smashingtops.com/wp-content/uploads/2013/04/Top-68.jpg
 

Comments

Popular Posts