Kabut di Curug Cijalu

13 Desember 2008

Nggak nyangka... hari ini bakal jadi hari yang menyenangkan sekaligus melelahkan. Yups, aku ikut temen-temen berkunjung ke Curug Cijalu. Pesertanya, yaitu Bayu, Indra Dwi, Gokil, Hada, dan Cimey. Tadinya kami hanya mau survey lokasi untuk kegiatan tadabur alam (cieh) dengan teman-teman lain (mungkin sekantor). Tapi, yah, kalaupun kelak kegiatan itu nggak jadi, yang penting kami udah sempat menikmati keajaiban alam di sini.

Curug Cijalu... sebetulnya bukan nama yang asing buatku. Tiga tahun yang lalu, aku sempat berencana berkunjung ke tempat itu dengan temen-temen KKN. Tapi, alhamdulillah aku baru bisa ke sana saat ini.
Lokasinya ada di Desa Cipancar, Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang. Ya, cukup bertetanggaan dengan Desa Cikujang, tempat KKN-ku dulu. Seingatku, bagian selatan Desa Cikujang berbatasan dengan Desa Cipancar.
Curug Cijalu ini terletak pada ketinggian 1.30m dpl, konfigurasi lapangan umumnya bergelombang. Kawasan ini mempunyai curah hujan 2.700mm/th dengan suhu udara 18-26C.



Pukul 10.00 pagi kami berkumpul di depan gerbang kampusku (UPI). Aku sedikit terlambat karena harus menyelesaikan dulu pekerjaan (ada deeeh... hehehe). Kami berangkat mendaki gunung lewati lembah (NINJA HATORI KALEEE)... Kami menyusuri jalan Dr. Setiabudi ke arah Lembang. Terus... terus... terus... sampai deh di Subang (masih cukup jauh dari kota). Lalu, kami mengambil jalan memotong melewati Desa Cicadas hingga sampailah kami di alun-alun Kecamatan Sagalaherang. Wah, sedikit-sedikit, ingatanku tentang pengalaman KKN 3 tahun yang lau berkelebat. UUHH... kangen suasananya... kangen aroma rumput di sore hari... kangen jalan gelap melewati kuburan dan hutan bambu di malam hari hanya dengan berbekal senter. Kangen anak-anak yang mengerubutiku saat kami berlatih kabaret, kangen aroma hawu, dan sambal buatan Bu Sekses, daaaan setumpuk kenangan-kenangan lainnya....






Sampailah kami di sebuah warung di salah satu jalan menuju Curug Cijalu. Kami beristirahat sejenak sambil ngemil semangkuk mie ditambah bakso (ngemil? maksud looo??). Terus ada yang pipis sembarangan lagihh... (FOTONYA AKU PASANG YAAAA? hahahaha!). Bensinku nyaris habis. Aku lupa mengisinya. Tapi ya nggak masalah... kalo abis tinggal nyelang dari motornya si Gokil, kan tangkinya GUDE... hehehehe.

Kami pun melanjutkan perjalanan. Di pintu gerbang, kami membeli tiket. Harganya satu motor Rp10.000. Tapi, jika satu motor ditumpangi 2 orang, bayarnya Rp16.000. Jadi, aku harus membayar Rp8000.

Di sisi kiri dan kanan jalan, aku sering melihat bongkahan batu besar. Entah batu kali atau apa. Tapi, batu-batu itu mengingatkanku pada letusan Gunung Sunda (yang konon menjadi cikal bakal Gunung Tangkuban Perahu dan Gunung Burangrang) ribuan tahun lalu. Jangan-jangan, batu-batu yang ukurannya sebesar 5 sepeda motor ditumpuk itu adalah muntahan dari perut bumi saat sang gunung raksasa meletus. Atau bisa jadi itu adalah hasil dari letusan Gunung Tangkuban Perahu yang terjadi setelahnya. Setahuku, gunung itu sudah tiga kali meletus (sumbernya kudapat Bandoeng Tempo Doeloe, alm. Haryoto Kunto). Terus apa letusan kedua gunung itu ada kaitannya dengan terbentuknya curug Cijalu? Entah... wah, kadang pengen banget cari tahu. Tapi, aku nggak punya skill dan kapasitas untuk itu, hehehe...). Aku hanya sebatas penikmat keajaiban alam. Paling-paling hanya bisa kuungkapkan lewat tulisan (itu juga kalo mood).

Jalan menuju kawasan curug cijalu, asik-asik gimanaaaa gitu. Motor aku sampe koclak-koclak karena jalan yang kami lewati full of rocks! Penuh bebatu! Berkali-kali aku tergelincir dan Mas Indra Dwi yang kubonceng terpaksa harus turun berkali-kali, sekadar meringankan beban yang diderita motorku atau mendorong motorku yang rodanya terganjal batu-batu mbo papo.

Aku ingat, ada dua ibu pemetik teh yang ikut prihatin (maksud looo?) melihat penderitaanku.

"Aduuh, kasep tong dicandak atuh motorna mah... palaur... bilih geubis...!"

artinya...

"Aduuh, ganteng... jangan dibawa donk motornya... serem ih... takut jatooh tauuu..." (buset, gaul pisan si ibu... mana bilang aku ganteng lagi.... WAK WAK WAK!)

Setelah berjuang sekuat tenaga, finnaly sampe juga ke parkiran motor.
Sialan, aku dibilang mirip wayang golek sama Bayu. Bukan wayang golek tauuu... tapi bebegig! Wak222! Motor pun kami parkirin. Yah, si merah au suruh istirahat dulu. Kasian. Lagipula besoknya mau aku ajak ke nikahan Kang Oman di Majalaya.



Nah, akhirnya kami semakin dekat curug Cijalu. Setelah selesai sholat Duhur di mushola kecil yang dihinggapi banyak jaring laba-laba, kami pun kembali melangkah.
Daaan... sampailah kami di curug Cijalu.
Wah, subhanallah.. indah sekaaaaaliiii (pake logat Ulie). Udah lama banget aku nggak main ke waterfall kayak gini. Jangan-jangan terakhir aku main ke air terjun 8 tahun yang lalu pas ke curug Siliwangi Gunung Puntang. Lupa.
Di tempat itu aku sempat terganggu juga sama sepasang kekasih yang lagi pacaran. YEEE... yang ada juga mereka yah yang keganggu oleh kehadiran cowok-cowok keren dari Bandung ini. Secara... THe Green Jomblo suka agak terganggu dan senewen aja kalo liat orang pacaran di tempat umum. Hahaha... terganggu atau sirik niiihhh?

Di sana... saking senengnya, aku basah-basahan. Pokoknya aku abisin dah! Dingin, dingin, nggak peduli. Eh, tapi ternyata... beberapa puluh meter masih ada air terjun lain yang lebih dahsyat! Euh... hanas bebeakan...

Tapi, ya ampun... Allahu Akbar. Bener-bener karunia illahi. Air terjunnya sangat indah. Lebih indah dari air terjun pertama tadi.


Tentang Gadis-Gadis Pramuka

Biasa, kelakuan cowok-cowok jomblo. Di manapun NGECENG sampe puyeng. Apalagi si gokil bin omes. Hehehe. Yups, di sana ada sekelompok anak-anak abg cewek yang pada pake baju pramuka. Kayaknya siy balik sekolah langsung pada main. Hum... nggak salah lagi, langsung deh para paparazi manfaatin kesempatan untuk ngambil gambar "para bidadari yang lagi mandi".


Setelah cukup puas dan lelah menikmati (sebenernya malah sibuk foto-foto) keindahan alam Cijalu, kami mutusin untuk pulang. BRRRR... dingin banget. Mana celanaku basah pula.

Kami melalui jalur yang sama kaya pas berangkat. Tapi, di alun-alun Kecamatan Sagalaherang, kami memilih jalur menuju jalan Cagak, bukan jalur desa Cicadas lagi. Ya, jarak memang terasa lebih jauh, tapi lebih nyaman aja.

Kami kemudian singgah di warung bandrek langganan yang ada di pinggir jalan raya Lembang-Subang. Aku makan semangkuk mie goreng telur dan minum segelas bandrek susu. MANTAAAAP!!! Berselimut kabut pula!

Wah, pokona mah lumayan rame lah... Meskipun kabut merengkuh, ada sejumput pendar hangat penuh bahagia yang bisa kurasakan. Hahahaha!!!

Comments

  1. sorry, gw mau kkn didesa cicadas kecamatan sagalaherang subang nih, boleh minta infonya ga klo daerah itu suhu udaranya gimana? dingin atau panas? thx yaa

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts