Chromatic Notes #1


"Are You OK?"

"Are you OK?" begitulah kalimat yang ditanyakan seorang kawan saat melihatku 'di-bully' di tengah canda tawa yang baginya sudah di luar batas.

Aku selalu menunjukkan wajah "I'm OK". Aku sudah lupa bagaimana rasanya benci terhadap candaan-candaan itu. Aku juga sudah lupa bagaimana sebaiknya aku bersikap. Maka, ikut arus sungai candaan mereka, sederas apapun itu, adalah hal ternyaman bagiku saat itu.

~Gancit, 30 Desember 2012


Menerawang di Sela-sela Datangnya Pelanggan

Orang-orang menyebutnya waria. Aku juga. Di mana-mana mereka ada, di belahan bumi manapun. Tentu dengan berbagai nama yang berbeda. Pandang mata untuk mereka sangat kromatis. Ada yang jijik atas nama gender, menghujat atas nama agama, tertawa atas nama hiburan, melenguh atas nama libido, tercengang atas nama ketertarikan, terenyuh atas nama kemanusian, dan sebagainya.

Aku? Berusaha tak munafik, kukatakan beberapa persen kusimpan takut, terutama pada pengamen yang terkadang mengganggu ketenangan makan malamku di warung-warung makan pinggir jalan. Mungkin pikiranku terhipnotis berita media tentang tindak kriminal yang kerap terjadi oleh 'oknum' mereka. Pula beberapa pengalaman kawanku yang dicolek, digerayangi, atau dipalak oleh 'oknum' mereka itu. 
Tetapi, kupikir, mereka tak ada bedanya dengan manusia-manusia lain yang mengkultuskan dirinya sebagai orang normal. Mereka tentu ada yang baik, ada yang berperilaku jahat. Itu bukan karena gender atau pilihan orientasi seksual semata. Jadi, tak adil rasanya jika kusamaratakan bahwa waria itu 'jahat'. 
***
Ini adalah salah satu sisi dari degup hidup mereka yang juga penuh dinamika.
Malam semakin tua. Fajar semakin mengincar. Waktu seakan nyaris habis. Beberapa di antara mereka terlihat cukup gelisah. Maklum, belum dapat pelanggan satupun. Padahal banyak kebutuhan yang harus dipenuhi. Sebagian lainnya, ada yang sudah mendapat beberapa pelanggan. Bahkan, ada yang sudah kali ketiga 'menghibur' orang-orang linglung yang tak tahan untuk mendapat kepuasan.

Bajunya hitam. Pula rok dan sepatunya. Entah apa nama model baju itu. Sepatunya berhak tinggi seperti Lady Gaga. Rambutnya juga tergerai hitam. Badannya semampai, tapi tetap saja bahu khas laki-lakinya itu tak bisa membohongi bahwa dia pernah terlahir dan menjalani hidup sebagai seorang laki-laki.
Dari sebuah taksi yang berhenti tepat di hadapanku, dia keluar dengan seorang laki-laki berperut buncit. Aku dan beberapa orang lainnya di warung kopi itu menerka-nerka, apa yang mereka lakukan di dalam taksi yang sejak tadi berputar-putar di jalan yang sama. 
Setelah bertransaksi, lelaki yang sudah puas itu melanjutkan perjalanannya dengan taksi. Sementara, waria itu ditinggalkannya sendiri, tentu dengan sejumlah uang hasil 'kerjanya'. Lalu, dia berjalan ke arahku. Dia agak sempoyongan lemas. Dipegangnya pundakku.
"Permisi, Mas," ujarnya datar.
Dibelinya sebungkus rokok. Lalu, dia melangkah ke tepi jalan gelap yang dipayungi sebuah pohon besar.
Dia duduk di atas trotoar. Pada pohon besar itu dia bersandar. Tatapannya nanar. Sebatang rokok dihisapnya dalam gusar.
Tak lama, datang sebuah mobil mewah. Karena asik mengobrol dengan Bapak yang sama-sama ngopi juga, waria dan mobil itu lenyap dalam sekejap tanpa bisa kudeteksi ke mana perginya.
Dua puluh menit usai setelah itu. Waria itu kembali dengan wajah murung. Dia kembali duduk di bawah pohon besar dengan ekspresi menerawang. Entah apa yang dia pikirkan. Pendapatannya malam inikah? Atau ketakpuasannya terhadap pelanggankah? Atau gegaris takdir yang telah dihadiahkan kepadanya malam ini? Entah. Dan aku hanya bisa menerka-nerka.

Jam berlalu. Lalu lalang kendaraan tak ada habisnya di tempat itu. Sesekali mereka melambatkan laju, lalu tertawa-tawa setelah membuka jendela. Sementara, di tepian jalan, waria-waria berbaris memperagakan kemolekan tubuhnya yang telah 'dibangun' berbulan-bulan demi kepuasan pelanggan.
Sebuah mobil berhenti di depan waria yang sedang duduk menerawang tadi. Waria itu menghampiri pengemudi. Dibukanya jendela mobil, lalu diputarnya lagu-lagu disko masa kini. 
Waria itu diminta berlenggak-lenggok mengikuti ketukan musik. Lelaki itu dipuaskan dengan cara sederhana, dengan cara yang lebih mudah dibanding pelanggan-pelanggan sebelumnya. Ya, hanya menari-nari, meliuk-liukkan tubuh. Tetapi, ternyata tidak hanya itu. 'Permainan' beranjak lebih jauh. Dan ada visualisasi yang malas kukisahkan.

Sang pelanggan ketiga terpuaskan. Waria itu kembali membenamkan diri dalam kegelapan. Dari jauh, aku melihatnya menyeka air mata.

~Jalan Sumenep Jakarta, 31 Desember 2012 dini hari



Mama dan Kenangan tentang Kembang Api

Tengah malam, suara petasan membangunkanku. Penasaran, kusambangi atap rumah. Ternyata, Mama sudah ada di sana. Mukanya sumringah menikmati kembang api penanda datangnya tahun baru. 
Belum sempat berkata-kata, aku tahu, Mama kangen pada Papa yang pernah menyulut kembang api di malam tahun baru terakhir yang mereka lalui bersama.

~Bandung, 1 Januari 2013 dini hari



Terima Kasih Leluhur

Di hadapan makam kakek dan nenek, tak henti-hentinya aku bersyukur pada Tuhan dan berterima kasih pada kakek dan nenek, juga semua leluhurku. Bagaimanapun, adaku di dunia adalah akumulasi dari beberapa bagian perjalanan hidup mereka di masa lalu.
Semoga setiap hal baik yang kutorehkan di parjalanan hidup ini juga jadi ladang kebaikan bagi mereka. Sementara, setiap hal buruk yang kuperbuat sepenuhnya menjadi tanggung jawabku sendiri. 

~Cibarunai, 1 Januari 2013 siang 


Ekspektasi Hati pada Hati

Setiap orang yang jatuh hati, pasti menyimpan banyak ekspektasi terhadap kelanjutan rasa hatinya yang dipupuk dan dipelihara. Ekspektasi untuk bisa selalu bersama, keinginan terpendam untuk mengungkapkan rasa, naluri kuat untuk memiliki, pendaran tulus untuk menyayangi
Setiap orang berhak jatuh hati, pada siapapun tanpa terkecuali. Tetapi, nggak setiap orang yang dijadikan sasaran jatuh hatinya secara otomatis jadi punya kewajiban untuk membalas rasa hati itu.
Ya, nggak semua hati saling terkoneksi. Nggak semua hati bisa saling memenuhi ekspektasi. Itulah alasan kenapa ada istilah 'cinta bertepuk sebelah tangan'.

~salah satu obrolan dengan AH
   Roppan Semanggi, 1 Januari 2013



Surat Untukmu
Ini aku dan kamu. Masih sama seperti bulan-bulan yang lalu, yang pernah kita lalui dalam tawa, kemarahan, dan diam yang tak terdefinisi.
Tapi satu hal yang telah berubah, setelah mati-matian aku berkontemplasi. Ya, ekspektasi liarku yang terus menggerogoti, ombak tangguh yang perlahan mengikis karang. 
Kini aku merasa lebih tenang. 
Merasa harus beranjak dari fantasi yang kadang membuat frustasi.
Aku dan kamu masih akan selalu seperti ini. Seperti biasanya. Hanya saja, ada sayap kebebasan yang rasanya baru kutemukan

2-3 Januari 2013


Kejutan di Tengah Penat

Penat datang dari olah pikiran sendiri, dan cerah hati terkadang datang sebagai kejutan dari orang-orang  yang tak pernah terprediksi.

~kado berwarna biru dari WN
  meja kerja, 3 Januari 2013


Awan Nimbus

Senja ini terasa lebih panjang, seperti mengikuti mauku yang ingin berlama-lama di tempat ini.
Aku merasa nyaman memandang awan-awan. 
"Awan Nimbus," kata kawanku.

Kukatakan padanya, setiap ada awan nimbus seperti itu, aku selalu mengajukan permohonan seperti orang-orang meyakini bintang jatuh yang bisa mengabulkan permintaan.
Sore itu, sambil menghabiskan sisa teh jahe, kugantungkan harapan di awan nimbus yang beranjak pergi. Kuharap, senja yang indah ini bisa kembali kujumpai di hari lain.

~kantin, di tengah percakapan dengan FA
  3 Januari 2013


Senja Segera Tiba

Teh jahe yang nyaris habis. Sisa-sisa asap yang akan selamanya melekat di saluran pernapasan. Racun.
Senja segera tiba. Perlahan, dia akan meringkus terang, lalu mendatangkan malam sebagai sang pengganti. Di sanalah sunyi mendekam. Lalu, aku ditakut-takuti oleh lolongan anjing dan koar gagak yang melontarkan dengki dan benci.
Saat itulah aku ingin berlari. Membunuh rasa takut dan sesak. Melepas semua penat dan emosi yang terbenam dalam sekapan kelam.

~keisengan dalam diam saat semeja dengan FA dan RAN yang sibuk dengan ponsel, rokok, dan es kopi masing-masing.
  Kantin, 4 Januari 2013



Pendar Warna

Malam ini aku bersyukur karena masih banyak kawan yang menerima pendar warnaku apa adanya.

~Sevel Benhil. 4 Januari 2013, larut malam

Comments

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Tulisan yang menginspirasi... Jaga semangat ya! :D

    ReplyDelete
  3. Mas, tulisanmu keren. Kadang ada kosa kata yang asing bagi aku. Tapi aku jadi banyak belajar.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts