Guladig Guilt

Beberapa hari lalu, tiba-tiba saya dipertemukan kembali dengan teman-teman masa kecil saya melalui grup blackberry messengger yang dibuatkan oleh WPS. Berbagai ekspresi kangen meluap-luap dari jemari kami. Dari mulai saling tanya posisi sekarang, saling mengingatkan cerita-cerita jadul yang ternyata sangat chromatic, juga saling membuka untold story yang ternyata lucu banget.
Sampailah kenangan saya kembali diobok-obok dan dikupas-kupas oleh ketikan chat MBA, sahabat paling lengket bagi saya waktu SD, tentang bullying yang dulu pernah kami lakukan secara tidak sadar sebagai seorang bocah kepada salah seorang siswi tak berdosa bernama ST.

Sungguh, cerita tentang ST luput dari memori saya yang biasanya lebih kuat dibanding teman-teman lain dalam mengingat peristiwa masa kecil. Bahkan, di segambreng tulisan atau buku-buku saya, termasuk buku "Kisah Bocah", saya belum pernah menuliskannya. Ya, walaupun salah satu tokoh utama di novel saya "Divan dan Hujan" bernama sama dengan ST yang kini entah berada di mana.

Jadi, dulu itu ada seorang anak perempuan yang satu kelas dengan saya, ya itu tadi, namanya ST. Dulu, entah karena apa, anak-anak satu kelas memusuhi dia. Bahkan, beberapa di antara mereka ada yang melakukan praktik bullying. Maklum, bocah-bocah cilik yang suka geng-gengan dan akrab dengan musuh-musuhan, sebel-sebelan, dan lain sebagainya.
Lalu, dari sharing cerita di grup kemarin itu, barulah saya tahu, anak-anak di kelas membencinya karena menganggap ST itu jorok. Katanya, senang naruh upil di kolong bangku, pup di kelas, dan lain-lain, yang saya pikir, sepertinya itu memang hal yang sering dialami banyak bocah lain.
Tapi, sepertinya nasib atau entah apa, yang membuat semua itu menjadi lebih ekstrim mendera masa kecil ST yang seharusnya dipenuhi oleh canda tawa dan keriangan.

Kemarin itu, MBA mengajak kami untuk berpikir, untuk sedikit membayangkan, bagaimana rasanya menjadi seorang anak perempuan yang secara akademis pun sering dicemooh oleh pengajar lantaran nilai-nilai ulangan yang buruk, yang dimusuhi secara massal, bahkan oleh beberapa orang yang sekadar ikut-ikutan 'trend' memusuhi dia dan bersama-sama menjulukinya 'Guladig'.

Entah dapat dari mana kata 'Guladig' itu. Entah siapa juga yang mempopulerkannya sehingga melekat di diri ST selama bertahun-tahun di masa SD yang seharusnya penuh cerita seru dan lucu.
MBA juga membuat pengakuan, dulu saat dia menjabat sebagai Ketua Murid (KM atau Ketua Kelas), ST pernah sakit parah, menurut WPS dia kena asma. Sebagai KM, seharusnya MBA menolong temannya. Tetapi, karena merasa gengsi dan ada embel-embel 'Guladig' yang melekat pada ST, tugas mulia seorang KM untuk menjaga teman-teman sekelasnya pun dia abaikan.
Begitu juga dengan saya. Walaupun tidak pernah ada dendam khusus pada ST, karena memang ST tidak pernah menzalimi saya atau banyak berinteraksi dengan saya, saya pernah melakukan tindak diskriminatif terhadapnya. Ya, saat perayaan ulang tahun saya yang ke-11, saya tidak mengundangnya. Sebetulnya itu bukan kehendak saya. Saya tidak mengundang ST karena beberapa anak perempuan mengancam tidak akan datang jika ST diundang juga. How stuppppiiiiddd me. Itu salah satu kesalahan saya terhadap ST yang saya ingat. Selebihnya saya juga lupa.

Wew. Saya benar-benar mencoba membayangkan, bagaimana perasaan saya jika saya menjadi ST saat itu. Dia hidup menjalani hari-hari bersama segambreng teman yang membencinya tanpa alasan bernalar. Ya, alasan bocah yang kadang tak masuk di akal, tetapi memang itulah dunia pikiran mereka.
Dan salah satu momen yang paling saya ingat adalah ketika perpisahan kelas, ST menangis. Dia terlihat paling bersedih karena perpisahan itu. Entah.

Hufft... belasan tahun sudah kami lewatkan. Apa kabar dengan ST? Apakah ulah kami semasa SD berdampak istimewa bagi kelanjutan hidupnya kini? Atau kini dia juga sudah melupakannya dan menganggap semua kekejaman yang diterimanya dulu sebagai kisah masa kecil yang tidak terlalu penting untuk diingat?

ST. Andai ada kesempatan, rasanya ingin sekali saya meminta maaf, lalu berbagi tawa bersama, ya canda tawa yang mungkin tertunda, yang dulu terpenjara oleh ego dan gengsi kami yang tidak mau dipanggil 'GULADIG' karena berdekatan dengan ST.





Comments

Popular Posts