Rasa, pada Suatu Malam

Suatu malam, bulan sudah tak utuh. Dari balik awan, dia mengintip taman yang kupijaki. Malu-malu dan suram.
Rumput di taman itu tak nampak segar hijaunya. Rengkuhan malam telah redupkan sepuhan warnanya. Beruntung, temaram lampu neon menjadikannya menyata di tangkapan mata.
Di belakangku, sebuah kolam yang belum dihuni ikan apapun dihujami gemercik air mancur. Suara itu luruhkan peluh. Berkolaborasi dengan warna lembut dalam bening mata malaikat.

Aku diam memeram kalimat. Sejak tadi, kekata ingin meluap, meletus berhamburan mencari lubang telingamu. Tapi kutahan. Kubiarkan terpenjara dan mengamuk pada otak. Sesekali, deret aksara itu mengalir dengan darah, menuju jantung, dan menjadikan degupannya semakin membabi-buta. Aku bertahan, kutatap bulan.
Energi pemicu ledakan itu surut bersama bulan yang kabur di balik kelam. Aku terdiam. Kamu terdiam.

Orang bilang, rasa itu harus dikatakan. Sampaikan pada orang yang jadi tujuan. Dan, tidak semua orang mahir mengumbar pernyataan bahwa ada rasa menggeliat yang harus diutarakan.

Ini satu-satunya gelombang yang kupunya. Untukmu. Satu-satunya.
Belum bisa kusampaikan lewat pernyataan, tapi lewat aksi yang menjadikannya ada.
Aku bergerak saat orang-orang lelap. Di balik ilalang dan di lorong-lorong yang sering dilalui tikus.
Kusampaikan sinyal mercu suar pada kapalmu, bukan melalui pernyataan atau deklarasi. Kuberikan hati dengan caraku sendiri. Kusampaikan pernyataan cinta dengan gerak yang nyata dan tak perlu pengakuan dunia sehingga kapalmu merapat ke dermagaku.

Kita masih terdiam. Kepala kita bercakap-cakap dengan gemercik air dan suara angin yang terus menghantam. 
Kamu beranjak, lalu menyuruhku pulang.

Taman Pancuran
27 Mei 2013 
7.22 PM

Comments

Popular Posts