Spaghetti Arrabiata

Sore sudah ditaburi pijar kecil lampu-lampu. Tak lama lagi pendar matahari, yang sedari siang menyemprot pepohonan, akan surup. Di kedai ini, bekas piring seporsi spaghetti arrabbiata tergolek menjijikan. Bercak merah di mana-mana, juga sisa-sisa rempah yang sebagian besar sudah siap jadi sampah di dalam lambung yang sering terasa sebah.
Berbeda dengan saat makanan eropa itu disajikan beberapa menit lalu bersama segelas es lemon madu bertabur beberapa butir buah longan. Terlihat lezat dan menggoda selera. Buktinya, dalam waktu singkat habis sudah semua kulahap.
 
 

Sayangnya di sini tak ada kamu. Padahal, spaghetti yang kumakan tadi rasanya lebih lezat dibandingkan dengan spaghetti lain yang pernah kita cicipi bersama.
Tadi, sambil mengunyah tuntas spaghetti itu, aku bertanya-tanya, di mana kamu setelah tsunami kecil menyergap jiwa kita dan membuat kita nyaris hilang daya untuk berbagi tawa dengan matahari.
Kadang, aku ingin membesarkan hatimu dengan berkata, ya sudahlah. Tapi, aku tahu, kata-kata itu kadang terdengar seperti penyepelean terhadap hal yang dialami orang lain di telingamu. Ya, bukankah dulu kamu pernah sewot karena aku berucap demikian setelah kamu membagi cerita mengesalkan tentang dunia yang dihuni oleh makhluk-makhluk berlendir keparat itu.

Tenang. Masih ada aku, yang selalu berbeda, istimewa hanya untukmu.

Kini, aku yang mulai gerah dan gelisah. Aku bingung, kenapa wanita itu ngomel-ngomel saat kusulut rokok di kedai terbuka ini. Aku celingak-celinguk mencari tulisan 'dilarang merokok'. Tak ada. Lagipula di mejaku ini memang disediakan asbak. Tapi sang wanita makin bengis dan galak. Lalu, dia terbatuk-batuk seolah agar kudengar.
Baiklah, aku mengalah. Kupadamkan rokok karena teringat jargon "hargai orang yang tidak merokok", walaupun aku heran kenapa si wanita itu tidak memilih duduk di dalam, yang jelas-jelas ruangan tanpa asap rokok.
Lalu, aku kembali ingat kamu. Dengan emosi yang kadang jadi sikap menyebalkanmu, apakah kau bisa sepengertian aku dalam menghadapi wanita itu? Apakah kamu akan sesabar aku dalam menghadapi kebedebahanmu? Atau seperti kamu berusaha mengerti aku dan anomali-anomali yang selalu dengan jumawa kudeklarasikan sebagai keunikanku? Ya, perilakuku yang kadang membuatmu bingung untuk menaggapi.
 
Aku yakin kamu bisa. Kamu sosok terbaik yang selalu bisa membuatku bersabar dan jatuh cinta.

Hei, rasanya aku masih lapar. Haruskah aku mengundangmu makan sore yang kedua untuk menemaniku menyantap spaghetti porsi kedua?

Bakerzine, Central Park
26 Mei 2013
5.27 PM

Comments

Popular Posts